Karya Imam al-Ghazali ini merupakan satu di antara sekian ribu buku
tentang menyucikan hati dari berbagai macam penyakit yang tak lekang
oleh zaman. Hati pada hakikatnya adalah akar dari segala kebahagiaan.
Jika hati selalu diserang oleh berbagai macam penyakit, maka kebahagiaan
akan sangat sulit untuk diraih. Di sinilah pentingnya kita melatih hati
agar kebahagiaan hidup yang hakiki bisa kita jumpai.
Hidup
bukanlah hidup jika manusia tidak menemukan kebahagiaan. Sebagaimana
lumrah kita ketahui bahwa bahagia tak lain bersumber dari hati, bukan
pikiran. Jika kebahagiaan dianggap bersumber dari pikiran, itu bukan
kebahagiaan yang hakiki, tapi hanya khayalan yang sangat tinggi. Maka
dari itu, sebuah usaha untuk meraih kebahagiaan yang hakiki, kita harus
bisa melatih hati agar tetap sehat dan terjauh dari segala macam
penyakit (hati).
Ada banyak penyakit hati yang kadang kita tak
merasakannya telah menjadi tunas-tunas hingga berakar kuat dan sulit
ditumbangkan. Misalkan seperti iri/dengki, sombong, khianat,
bohong/dusta, pamer, ‘ujub, dan kikir, serta penyakit-penyakit
lainnya yang bersumber dari hati. Jika hati diserang penyakit-penyakit
demikian, maka kita tidak akan menemukan ketenangan dan kebahagiaan
hidup. Ada beberapa terapi (latihan) mengobati hati dari penyakit
tersebut sebagaimana diulas dalam karya ini.
Salah satu terapi
untuk mengobati hati yang sedang dilanda oleh penyakit-penyakit tersebut
yaitu bersabar (hlm. 4). Sabar memiliki beberapa dimensi; ada sabar
menaati perintah Allah, sabar menjauhi larangan-Nya, sabar menghadapi
musibah, dan sabar atas nikmat yang diberikan oleh Allah kepada hamba
lain. Substansinya, sabar menjadi tonggak terapi obat hati. Jika kita
bisa sabar atas segala hal, sudah dapat dipastikan janji Tuhan tidak
akan pernah melesat. Orang-orang yang sabar akan menemukan kenikmatan
(kebahagiaan) hidup, dan pada gilirannya nikmat yang diberikan kepada
orang lain, juga diberikan kepada kita oleh Allah dengan cara yang adil
berkat kesabaran yang kita tanam.
Akar persoalan hidup
Keberadaan
karakter/tabiat (hidup) manusia ditentukan oleh segumpal daging (hati)
yang ada di dalam tubuhnya. Jika daging itu kotor dan penuh dengan
penyakit, maka akan tercermin melalui pola hidupnya. Dengki, atau tidak
rela jika orang lain menerima nikmat lebih baik dari kita. Orang yang
hatinya ditimpa oleh penyakit dengki, maka berbagai cara akan dilakukan
untuk menghilangkan nikmat yang diberikan oleh Tuhan kepada orang
(hamba)-nya yang lain. Bisa saja orang itu dibunuh atau kenikmatannya
dihilangkan dengan berbagai macam cara.
Dengki sebenarnya hanya
penyakit kecil dan ringan di dalam hati. Tapi, jika dibiarkan, maka akan
menjadi penyakit fisik/badan hingga menjadi dosa besar. Persoalan hidup
selalu timbul dan tumbuh diakibatkan oleh hati. Orang yang hatinya
dengki, maka kegelisahan dan berat pikiran akan selalu menghantuinya.
Masih dalam satu terobosan untuk mengobati dengki, yaitu sabar yang
diwujudkan dengan sifat qana’ah atau menerima apa adanya nikmat yang diberikan oleh Tuhan (hlm. 102).
Dengan
sifat menerima apa adanya, hati akan merasa lega dan tenteram. Kita
tidak boleh mengharapkan apa yang dimiliki oleh orang lain hilang atau
menjadi milik kita dengan cara yang tidak dibenarkan baik secara moral
atau sosial. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. bersabda, “Kekayaan bukanlah karena banyaknya harta, tetapi kekayaan jiwa (hati)” (HR. Muslim).
Selain
dengki, penyakit hati yaitu berupa takabbur (sombong/tinggi hati).
Sombong adalah sifat bangga yang berlebihan dari dalam hati seorang
hamba (manusia). Sehingga menganggap orang lain tak sebaik dari dirinya.
Misalkan kita kaya-raya, cerdas/pintar, atau memiliki pangkat tinggi.
Jika kita mensyukurinya, sudah tentu penyakit sombong bisa menjalar ke
dalam hati dan dicerminkan melalui perilaku sehari-hari dengan
menganggap remeh orang lain.
Sombong secara kasat mata tampak
biasa-biasa saja, tapi sebenarnya sangat berbahaya bagi mereka yang
menyadarinya. Sifat sombong bisa berdampak memeras (menganiaya) orang
lain dan suka berbuat sewenang-wenang, serta menyepelekan (menganggap
remeh) orang lain. Biasanya orang sombong ditakuti dan tidak disuka oleh
masyarakat. Obat sombong yaitu bersyukur atas karunia yang diberikan
oleh Tuhan kepada kita (hlm. 140).
Jika kita sebagai manusia
selalu merasa terbebani dalam menjalani roda kehidupan ini, maka
introspeksi diri dalam hati adalah salah satu solusinya (hlm. 238). Kita
harus bisa mendeteksi sedini mungkin keberadaan hati yang ada dalam
tubuh kita masing-masing. Jika ada secuil benih-benih penyakit atau
sudah menumpuk banyak, maka kita harus sesegera mungkin untuk melakukan
pembersihan dan terapi agar kemelut hidup tidak selalu menghantui.
Kehadiran
buku ini akan menjadi pemandu untuk menemukan hakikat kebahagiaan dalam
hidup umat manusia. Kebahagiaan tidak bisa diukur dengan harta
kekayaan, kecerdasan, segala keinginan bisa terpenuhi, dan kesempurnaan
jiwa-raga, tapi kebahagiaan sejati tumbuh dari hati yang bersih dari
segala macam penyakit. Dengan menyelami hati melalui karya ini, kita
akan diajak untuk terapi pengobatan hati secara sempurna agar bisa
menemukan kebahagiaan yang hakiki, baik di dunia hingga akhirat kelak.
Selamat membaca dan menggapai kebahagiaan yang hakiki!
Data buku
Judul : Menyelami Isi Hati
Penulis : Imam al-Ghazali
Penerjemah : Akhmad Siddiq dan A. Rofi’i Dimyati
Editor : Mukhlis Yusuf Arbi dan Muhammad Taufik
Penerbit : Keira Publishing
Cetakan : I, 2014
Tebal : 312 halaman
ISBN : 978-602-1361-13-9
Peresensi : Junaidi Khab, pecinta baca buku, tinggal di Surabaya
IPNU-IPPNU kemlagi cinta Allah
Selasa, 03 Maret 2015
Senin, 02 Maret 2015
Meraih Surga dengan Amalan Sunnah
Tujuan diciptakannya manusia dan jin di bumi ini tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah. Manusia wajib beribadah menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah sendiri ada beberapa macam di antaranya wajib atau fardu ‘ain. Ibadah yang seperti ini merupakan sebuah kewajiban bagi tiap-tiap orang untuk melakukannya. Tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Selain wajib, kita juga dianjurkan untuk melaksanakan sunnah. Dimana ibadah-ibadah yang sifatnya sunnah ini sudah disyari’atkan sebagai pelengkap dari ibadah wajib.
Ibadah-ibadah sunnah sangatlah banyak. Di dalam buku yang berjudul “Sunnah-sunnah Harian Berhadiah Surga” ini, penulis mencoba menjelaskan beberapa ibadah-ibadah sunnah yang bersifat harian yakni yang biasa kita kerjakan sehari-hari. Tiap-tiap ibadah sunnah yang ada di dalam buku ini di jelaskan secara rinci dengan tata cara untuk melakukannya.
Penulis juga memaparkan keutamaan-keutamaan yang akan di peroleh dari menjalankan ibadah sunnah ini. Dengan mengetahui keutamaan-keutamaan yang di dapat dari ibadah sunnah. Harapan penulis buku ini, agar kita lebih bersemangat dan termotivasi untuk melakukan ibadah-ibadah sunnah. Sebagai pelengkap dari ibadah-ibadah wajib.
Di dalam buku ini penulis menyajikannya dalam tiga bagian. Bagian pertama penulis mencoba memaparkan tentang shalat sunnah. Bagian ke dua, puasa sunnah dan yang terakhir bagian ke tiga ialah sunnah-sunnah yang lain yang mungkin belum banyak diketahui oleh masyarakat. Sebagai contoh dalam buku ini di halaman 184, “Menjaga Wudhu”. Dijelaskan dalam buku ini bahwa menjaga wudhu merupakan salah satu amalan sunnah. Berwudhu tidak hanya terbatas pada shalat dan membaca Al-Qur’an saja tetapi wudhu dianjurkan pula dalam memulai segala aktivitas kita sehari-hari. Bahkan kita juga dianjurkan untuk menjaga wudhu sepanjang hari.
Buku ini sangat bagus, dari segi isi maupun penyajiannya. Sangat dianjurkan para pembaca muslim khususnya untuk membaca buku ini. Karena buku ini sangat pas dan mudah dipahami oleh semua kalangan. Dan yang ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah. Dengan menjalankan sunnah-sunnahnya buku ini sangat cocok untuk menjadi referensi. Apalagi dilengkapi dengan dalil-dalilnya. Semoga buku ini membawa manfaat bagi kita semua. Selamat membaca!
Data buku
Judul buku : Sunnah-sunnah Harian Berhadiah Surga
Penulis : Muhammad Habibillah
Penerbit : Saufa, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2015
Tebal : 200 halaman
ISBN : 978-602-255-784-5
Ahmad Lailatus Sibyan, pengajar Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) Masjid Az-Zahrotun, Wonocatur, RT 06 RW 24, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta
Menag Nilai Kiai Ali Maksum Ulama yang Dirindukan Umat
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, KH Ali Maksum merupakan
pejuang agama dan kiai yang dihormati dan dirindukan umatnya.
Menurutnya, beliau adalah ulama, pembimbing, penyeimbang, dan guru yang
istiqomah.
Hal ini dikatakan Menag saat memberikan sambutan di depan ribuan jamaah pada acara Haul KH Ali Maksum yang ke 26, di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, Sabtu (28/2) malam. Hadir dalam kesempatan ini, Pengasuh PP Sarang Rembang, KH. Maimun Zubairi, KH Haidar Idris dari Wonosobo, dan Kakanwil Kemenag Provinsi Yogyakarta Masykul Haji.
Ikut mendampingi Menag, Kabag TU Pimpinan Khairul Huda, Staff khusus Menag Ali Zawawi, Kasubdit Santri Dit. Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ahmad Zayadi, serta Kasubdit Ketenagaan DIt. Pendidikan Tinggi Islam Imam Syafei.
Menurut Menag, banyak sifat dan kepribadian KH Ali Maksum yang dapat dijadikan sebagai suri tauladan bagi kehidupan kita, salah satunya adalah bagaimana cara beliau mengajar dan mendidik para santri dengan pendekatan kemanusiaan. “KH Ali Maksum dikenal sangat terbuka, ramah, suka bercanda dengan siapapun, termasuk kepada santrinya,” papar Menag seperti dikutip kemenag.go.id, Ahad.
KH Ali Maksum, lanjut Menag, juga dikenal sebagai seorang guru yang istiqomah mengajarkan kitab kuning, di tengah kesiukannya menjadi muballigh, dosen di IAIN, dan juga sebagai Rais Aam PBNU. Sang kiai adalah sosok yang patut diteladani dalam bentangan sejarah Republik Indonesia.
Selama hidupnya, KH Ali Maksum, kata Menag, dikenal sebagai pemimpin yang memegang dan menyandang predikat tinggi sebagai ulama dan pengamal agama yang mukhlis. Kiai yang tidak menginginkan umat Islam menjadi eksklusif, namun berharap umatnya bersikap terbuka dan inklusif.
“Beliau tidak senang dipanggil kiai, lebih senang dipanggil pak. Ini memperlihatkan beliau tidak hanya sebagai kiai, namun sebagai bapak bagi para santrinya,” jelas Menag.
Dalam rangkaian haul ini, dibacakan juga sejarah singkat (Manaqib) KH Ali Maksum. Manaqib tersebut disampaikan oleh sahabat almarhum, yaitu KH Haidar Idris dari Wonosobo. Menurutnya, ia belajar bersama KH Ali Maksum tentang Thariqoh, bersama bermain bola, dan menonton tinju.
Saat itu, lanjut KH Idris, petinju yang terkenal adalah Muhammad Ali. “KH Ali Maksum juga pengkhutbah terpendek yang sangat menyukai poster penyanyi dan penceramah kondang H Rhoma Irama,” cerita KH Haidar Idris yang disambut tawa jamaah.
Hal ini dikatakan Menag saat memberikan sambutan di depan ribuan jamaah pada acara Haul KH Ali Maksum yang ke 26, di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, Sabtu (28/2) malam. Hadir dalam kesempatan ini, Pengasuh PP Sarang Rembang, KH. Maimun Zubairi, KH Haidar Idris dari Wonosobo, dan Kakanwil Kemenag Provinsi Yogyakarta Masykul Haji.
Ikut mendampingi Menag, Kabag TU Pimpinan Khairul Huda, Staff khusus Menag Ali Zawawi, Kasubdit Santri Dit. Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ahmad Zayadi, serta Kasubdit Ketenagaan DIt. Pendidikan Tinggi Islam Imam Syafei.
Menurut Menag, banyak sifat dan kepribadian KH Ali Maksum yang dapat dijadikan sebagai suri tauladan bagi kehidupan kita, salah satunya adalah bagaimana cara beliau mengajar dan mendidik para santri dengan pendekatan kemanusiaan. “KH Ali Maksum dikenal sangat terbuka, ramah, suka bercanda dengan siapapun, termasuk kepada santrinya,” papar Menag seperti dikutip kemenag.go.id, Ahad.
KH Ali Maksum, lanjut Menag, juga dikenal sebagai seorang guru yang istiqomah mengajarkan kitab kuning, di tengah kesiukannya menjadi muballigh, dosen di IAIN, dan juga sebagai Rais Aam PBNU. Sang kiai adalah sosok yang patut diteladani dalam bentangan sejarah Republik Indonesia.
Selama hidupnya, KH Ali Maksum, kata Menag, dikenal sebagai pemimpin yang memegang dan menyandang predikat tinggi sebagai ulama dan pengamal agama yang mukhlis. Kiai yang tidak menginginkan umat Islam menjadi eksklusif, namun berharap umatnya bersikap terbuka dan inklusif.
“Beliau tidak senang dipanggil kiai, lebih senang dipanggil pak. Ini memperlihatkan beliau tidak hanya sebagai kiai, namun sebagai bapak bagi para santrinya,” jelas Menag.
Dalam rangkaian haul ini, dibacakan juga sejarah singkat (Manaqib) KH Ali Maksum. Manaqib tersebut disampaikan oleh sahabat almarhum, yaitu KH Haidar Idris dari Wonosobo. Menurutnya, ia belajar bersama KH Ali Maksum tentang Thariqoh, bersama bermain bola, dan menonton tinju.
Saat itu, lanjut KH Idris, petinju yang terkenal adalah Muhammad Ali. “KH Ali Maksum juga pengkhutbah terpendek yang sangat menyukai poster penyanyi dan penceramah kondang H Rhoma Irama,” cerita KH Haidar Idris yang disambut tawa jamaah.
Kamis, 26 Februari 2015
MANFAAT MEMBACA AL-QUR’AN DAN KESEHATAN
Arti Qur’an menurut pendapat yang paling kuat seperti yang dikemukakan Dr. Subhi Al Salih berarti ‘bacaan’, asal kata qara`a.
Kata Alqur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf’ul yaitu maqru` (dibaca).
Adapun definisi Alqur’an adalah: “Kalam Allah swt. yang merupakan mu’jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada nabi Muhammad saw. dan ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah.”
Banyak ayat Al Qur’an yang mengisyaratkan tentang pengobatan karena AlQur’an itu sendiri diturunkan sebagai penawar dan Rahmat bagi orang-orang yang mukmin.
“Dan kami menurunkan Al Qur’an sebagai penawar dan Rahmat untuk orang-orang yang mu’min.”
(QS. Al Isra/17: 82)
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tentram.”
(QS. Ar Ra’d/13: 28)
Menurut para ahli tafsir bahwa nama lain dari Al Qur’an yaitu “Asysyifâ” yang artinya secara Terminologi adalah Obat Penyembuh.
“Hai manusia, telah datang kepadamu kitab yang berisi pelajaran dari Tuhanmu dan sebagai obat penyembuh jiwa, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
(QS. Yunus/10: 57)
Di samping Al Qur’an mengisyaratkan tentang pengobatan juga menceritakan tentang keindahan alam semesta yang dapat kita jadikan sebagai sumber dari pembuat obat- obatan.
“Dia menumbuhkan tanaman-tanaman untukmu, seperti zaitun, korma, anggur dan buah-buahan lain selengkapnya, sesungguhnya pada hal-hal yang demikian terdapat tanda-tanda Kekuasaan Allah bagi orang-orang yang mau memikirkan”.
(QS. An-Nahl 16:11)
“Dan makanlah oleh kamu bermacam-macam sari buah-buahan, serta tempuhlah jalan-jalan yang telah digariskan tuhanmu dengan lancar. Dari perut lebah itu keluar minuman madu yang bermacam-macam jenisnya dijadikan sebagai obat untuk manusia. Di alamnya terdapat tanda-tanda Kekuasaan Allah bagi orang-orang yang mau memikirkan”.
(QS. An-Nahl 16: 69)
Berdasarkan keterangan tadi, dapat dipastikan bahwa orang yang membaca Alqur’an akan merasakan ketenangan jiwa.
Banyak pula hadits Nabi yang menerangkan tentang keutamaan membacanya dan menghafalnya atau bahkan mempelajarinya.
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Alqur’an dan mengajarkannya.”
(HR Bukhori)
“Siapa saja yang disibukkan oleh Alqur’an dalam rangka berdzikir kepada-Ku, dan memohon kepada-Ku, niscaya Aku akan berikan sesuatu yang lebih utama daripada apa yang telah Aku berikan kepada orang-orang yang telah meminta. Dan keutamaannya Kalam Allah daripada seluruh kalam selain-Nya, seperti keutamaan Allah atas makhluk-Nya.”
(HR. At Turmudzi)
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah (masjid) Allah, mereka membaca Alqur’an dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketentraman, mereka diliputi dengan rahmat, malaikat menaungi mereka dan Allah menyebut-nyebut mereka pada makhluk yang ada di sisi-Nya”.
(HR. Muslim)
“Hendaklah kamu menggunakan kedua obat-obat: madu dan Alqur’an”
(HR. Ibnu Majah dan Ibnu Mas’ud)
Dan masih banyak lagi dalil yang menerangkan bahwa berbagai penyakit dapat disembuhkan dengan membaca atau dibacakan ayat-ayat Alqur’an
(lihat Assuyuthi, Jalaluddin, Al Qur’an sebagai Penyembuh (Alqur’an asy Syâfî), terj. Achmad Sunarto, Semarang, CV. Surya Angkasa Semarang, cet. I, 1995).
Walaupun tidak dibarengi dengan data ilmiah, Syaikh Ibrahim bin Ismail dalam karyanya Ta’lim al Muta’alim halaman 41, sebuah kitab yang mengupas tata krama mencari ilmu berkata,
“Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang kuat ingatan atau hafalannya. Di antaranya, menyedikitkan makan, membiasakan melaksanakan ibadah salat malam, dan membaca Alquran sambil melihat kepada mushaf”. Selanjutnya ia berkata, “Tak ada lagi bacaan yang dapat meningkatkan terhadap daya ingat dan memberikan ketenangan kepada seseorang kecuali membaca Alqur’an”.
Dr. Al Qadhi, melalui penelitiannya yang panjang dan serius di Klinik Besar Florida Amerika Serikat, berhasil membuktikan hanya dengan mendengarkan bacaan ayat-ayat Alquran, seorang Muslim, baik mereka yang berbahasa Arab maupun bukan, dapat merasakan perubahan fisiologis yang sangat besar.
Penurunan depresi, kesedihan, memperoleh ketenangan jiwa, menangkal berbagai macam penyakit merupakan pengaruh umum yang dirasakan orang-orang yang menjadi objek penelitiannya. Penemuan sang dokter ahli jiwa ini tidak serampangan. Penelitiannya ditunjang dengan bantuan peralatan elektronik terbaru untuk mendeteksi tekanan darah, detak jantung, ketahanan otot, dan ketahanan kulit terhadap aliran listrik. Dari hasil uji cobanya ia berkesimpulan, bacaan Alquran berpengaruh besar hingga 97% dalam melahirkan ketenangan jiwa dan penyembuhan penyakit.
Penelitian Dr. Al Qadhi ini diperkuat pula oleh penelitian lainnya yang dilakukan oleh dokter yang berbeda. Dalam laporan sebuah penelitian yang disampaikan dalam Konferensi Kedokteran Islam Amerika Utara pada tahun 1984, disebutkan, Alquran terbukti mampu mendatangkan ketenangan sampai 97% bagi mereka yang men dengarkannya.
Kesimpulan hasil uji coba tersebut diperkuat lagi oleh penelitian Muhammad Salim yang dipublikasikan Universitas Boston. Objek penelitiannya terhadap 5 orang sukarelawan yang terdiri dari 3 pria dan 2 wanita. Kelima orang tersebut sama sekali tidak mengerti bahasa Arab dan mereka pun tidak diberi tahu bahwa yang akan diperdengarkannya adalah Alqur’an.
Penelitian yang dilakukan sebanyak 210 kali ini terbagi dua sesi, yakni membacakan Alquran dengan tartil dan membacakan bahasa Arab yang bukan dari Alqur’an. Kesimpulannya, responden mendapatkan ketenangan sampai 65% ketika mendengarkan bacaan Alquran dan mendapatkan ketenangan hanya 35% ketika mendengarkan bahasa Arab yang bukan dari Alqur’an.
Alquran memberikan pengaruh besar jika diperdengarkan kepada bayi. Hal tersebut diungkapkan Dr. Nurhayati dari Malaysia dalam Seminar Konseling dan Psikoterapi Islam di Malaysia pada tahun 1997. Menurut penelitiannya, bayi yang berusia 48 jam yang kepadanya diperdengarkan ayat-ayat Alquran dari tape recorder menunjukkan respons tersenyum dan menjadi lebih tenang.
Sungguh suatu kebahagiaan dan merupakan kenikmatan yang besar, kita memiliki Alquran. Selain menjadi ibadah dalam membacanya, bacaannya memberikan pengaruh besar bagi kehidupan jasmani dan rohani kita. Jika mendengarkan musik klasik dapat memengaruhi kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ) seseorang, bacaan Alquran lebih dari itu. Selain memengaruhi IQ dan EQ, bacaan Alquran memengaruhi kecerdasan spiritual (SQ).
Mahabenar Allah yang telah berfirman, “Dan apabila dibacakan Alquran, simaklah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”
(Q.S. 7: 204).
Atau juga, “Dan Kami telah menurunkan dari Alquran, suatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”
(Q.S.17:82).
Atau, “Ingatlah, hanya dengan berdzikir kepada Allah-lah hati menjadi tentram”
(Q.S. 13: 28).
Unsur Meditasi Al Qur’an
Kitab ini, tentu saja bukanlah sebuah buku sains ataupun buku kedokteran, namun Alqur’an menyebut dirinya sebagai ‘penyembut penyakit’, yang oleh kaum Muslim diartikan bahwa petunjuk yang dikandungnya akan membawa manusia pada kesehatan spiritual, psikologis, dan fisik.
Kesembuhan menggunakan Alqur’an dapat dilakukan dengan membaca, berdekatan dengannya, dan mendengarkannya. Membaca, mendengar, memperhatikan dan berdekatan dengannya ialah bahwasanya Alqur’an itu dibaca di sisi orang yang sedang menderita sakit sehingga akan turun rahmat kepada mereka.
Allah saw menjelaskan,
“Dan apabila dibacakan Alqur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”
(QS. Al A’raf: 204)
Menurut hemat penulis, salah satu unsur yang dapat dikatakan meditasi dalam Alquran adalah, pertama, auto sugesti, dan kedua, adalah hukum- hukum bacaan yaitu waqaf.
Aspek Auto Sugesti
Alqur’an merupakan kitab suci umat Islam yang berisikan firman-firman Allah. Banyak sekali nasihat-nasihat, berita-berita kabar gembira bagi orang yang beriman dan beramal sholeh, dan berita-berita ancaman bagi mereka yang tidak beriman dan atau tidak beramal sholeh.
Maka, alqur’an berisikan ucapan-ucapan yang baik, yang dalam istilah Alqur’an sendiri, ahsan alhadits. Kata-kata yang penuh kebaikan sering memberikan efek auto sugesti yang positif dan yang akan menimbulkan ketenangan.
Platonov telah membuktikan dalam eksperimennya bahwa kata-kata sebagai suatu Conditioned Stimulus (Premis dari Pavlov) memang benar-benar menimbulkan perubahan sesuai dengan arti atau makna kata-kata tersebut pada diri manusia. Pada eksperimen Plotonov, kata-kata yang digunakan adalah tidur, tidur dan memang individu tersebut akhirnya tertidur.
Pikiran dan tubuh dapat berinteraksi dengan cara yang amat beragam untuk menimbul kan kesehatan atau penyakit.
Zakiah Daradjat mengatakan bahwa sembahyang, do’a-do’a dan permohonan ampun kepada Allah, semuanya merupakan cara-cara pelegaan batin yang akan mengembalikan ketenangan dan ketentraman jiwa kepada orang-orang yang melakukannya.
Relaksasi
Aspek Waqof
Alqur’an adalah sebuah kitab suci yang mempunyai kode etik dalam membacanya. Membaca Alqur’an tidak seperti membaca bacaan-bacaan lainnya. Membaca Alqur’an harus tanpa nafas dalam pengertian sang pembaca harus membaca dengan sekali nafas hingga kalimat-kalimat tertentu atau hingga tanda-tanda tertentu yang dalam istilah ilmu tajwid dinamakan waqaf. Jika si pembaca berhenti pada tempat yang tidak semestinya maka dia harus membaca ulang kata atau kalimat sebelumnya.
Waqof artinya berhenti di suatu kata ketika membaca Alqur’an, baik di akhir ayat maupun di tengah ayat dan disertai nafas. Mengikuti tanda-tanda waqof yang ada dalam Alqur’an, kedudukannya tidak dihukumi wajib syar’i bagi yang melanggarnya. Walaupun jika berhenti dengan sengaja pada kalimat-kalimat tertentu yang dapat merusak arti dan makna yang dimaksud, maka hukumnya haram.
Jadi cara membaca Alqur’an itu bisa disesuaikan dengan tanda-tanda waqaf dalam Alqur’an atau disesuaikan dengan kemampuan si pembaca dengan syarat bahwa bacaan yang dibacanya tidak berubah arti atau makna.
Waqaf dalam Alquran
- Tanda awal atau akhir ayat
- Tanda awal atau akhir surat
- Tanda-tanda waqaf
Kemampuan nafas pembaca
Siapa saja bisa boleh membaca Alqur?an, baik anak kecil, muda maupun tua, baik pria maupun wanita selagi mereka dalam keadaan suci atau berwudlu. Jadi bagaimanapun kemampuan mereka bernafas mereka boleh membaca Alqur’an. Berhenti berdasarkan kemampuan nafas pembaca, dalam ilmu tajwid, bisa dikategorikan dalam bagian-bagian waqaf.
Adapula beberapa penekanan nafas dalam membaca Alqur’an. Penekanan-penekanan tersebut dalam ilmu tajwid dinamakan mad.
Indonesia adalah negara yang mayoritas umat Islam menerapkan hukum-hukum membaca Alqur’an menurut Rowi, Hafsh, yang telah berguru kepada imam ‘Ashim. Adapun hukum-hukum bacaan mad dalam ilmu Tajwid menurut Rowi Hafsh adalah:
- Mad Munfashil,
yaitu apabila terdapat mad bertemu dengan hamzah dalam kalimat yang terpisah. Cara baca hukum ini 4 harakat. - Mad Badal,
yaitu apabila terdapat hamzah yang berharakat bertemu dengan huruf mad yang sukun. Cara membaca hukum ini adalah 2 harakat.
Waktu Meditasi dengan Alqur’an
Pada hakikatnya tidak ada waktu yang makruh untuk membaca/meditasi Alqur’an, hanya saja memang ada beberapa dalil yang menerangkan bahwa ada waktu-waktu yang lebih utama dari waktu-waktu yang lainnya untuk membaca Alqur’an. Waktu-waktu tersebut adalah:
1. Dalam sholat
An-Nawawi berkata;
‘Waktu-waktu pilihan yang paling utama untuk membaca Alqur’an ialah dalam sholat.’
Al Baihaqi meriwayatkan dalam asy Syu’ab dari Ka’ab r.a. ia berkata:
“Allah telah memilih negeri-negeri, maka negeri-negeri yang lebih dicintai Allah ialah negeri al Haram (Mekkah). Allah telah memilih zaman, maka zaman yang lebih dicintai Allah ialah bulan-bulan haram. Dan bulan yang lebih dicintai Allah ialah bulan dzulhijjah. Hari-hari bulan Dzulhijjah yang lebih dicintai Allah ialah sepuluh hari yang pertama. Allah telah memilih hari-hari, maka hari yang lebih dicintai Allah ialah hari Jum?at. Malam-malam yang lebih dicintai Allah ialah malam Qadar. Allah telah memilih waktu-waktu malam dan siang, maka waktu yang lebih dicintai Allah ialah waktu-waktu sholat yang lima waktu. Allah telah memilih kalam-kalam (perkataan), maka kalam yang dicintai Allah adalah lafadz ‘La ilâha illallâh wallâhu akbar wa subhanallâhi wal hamdulillâh.“
2. Malam hari
Waktu-waktu yang paling utama untuk membaca Alqur’an selain waktu sholat adalah waktu malam,
Allah menegaskan,
“Di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sholat).”
(QS. Ali Imron 3:113)
Waktu malam ini pun dibagi menjadi 2:
- Antara waktu Maghrib dan Isya
- Bagian malam yang terakhir
3. Setelah Subuh
Sebagai penutup mudah-mudahan ini merupakan langkah awal untuk bisa lebih membuktikan unsur-unsur kesehatan dari Alqur’an, baik makna-maknanya, cara membacanya maupun lainnya.
Dahsyatnya Keutamaan dan Manfaat Sholawat
Sebenarnya hadist-hadist yang menjelaskan keutamaan sholawat sangatlah
banyak, mengingat manfaat yang dapat diperoleh dengan bersholawat juga
sangat banyak. Berikut beberapa hadistnya:
Riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah r.a., Nabi saw. bersabda,
"Barang siapa bershalawat kepadaku satu kali, nicaya Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali."
Riwayat lainnya, dari Ibn Mas'ud r.a., Rasulullah bersabda,
"Sesungguhnya manusia yang paling utama di sisiku pada hari kiamat nanti adalah yang paling banyak memanjatkan shalawat untukku."
(HR Al-Tirmidzi dan Ibn Hibban)
Hadist lainnya menyebutkan,
"Orang yang kikir adalah orang yang disebut namaku di sisinya, tetapi dia tidak bershalawat kepadaku."
(HR Al-Tirmidzi, Al-Nasa'i, Ibn Hibban, dan Al-Hakim)
"Shalawat dari umatku akan ditujukan kepadaku setiap hari Jumat. Barang siapa paling banyak shalawatnya, niscaya ia lebih dekat kedudukannya denganku."
(HR Al-Baihaqi dan Abu Umamah)
Untuk lebih singkatnya, berikut ini saya rangkum manfaat-manfaat sholawat:
- Sejalan dengan Allah swt. dalam bershalawat kepada Rasulullah saw.
- Sejalan dengan malaikat dalam bershalawat kepada Rasulullah saw.
- Meraih sepuluh shalawat dari Allah swt.
- Diangkat sepuluh derajat atas kedudukannya di sisi Allah.
- Dituliskan baginya sepuluh kebaikan dan dihapuskan darinya sepuluh kejelekan.
- Dikabulkan segala doa yang dipanjatkannya.
- Meraih syafaat Nabi Muhammad saw.
- Diampuni segala dosa dan ditutup seluruh aib hidup.
- Mencapai segala sesuatu yang dicita-citakan.
- Mendekatkan diri seorang hamba kepada Rasul-Nya.
- Allah dan para malaikat akan bershalawat kepada orang yang membaca shalawat.
- Menyucikan dan membersihkan jiwa orang yang membaca shalawat.
- Membahagiakan seorang hamba dengan janji surga sebelum dia wafat.
- Shalawat menyelamatkan pembacanya dari segala kesulitan di hari kiamat.
- Shalawat menjadi faktor yang membuat Rasulullah saw. menjawab apa yang dibacanya.
- Membuat orang yang membacanya menjadi ingat atas segala hal yang dilupakannya.
- Shalawat menempatkan pembacanya pada majelis yang mulia dan tidak mengembalikannya kepad keadaan rugi di hari kiamat nanti.
- Menghilangkan perasaan bakhil.
- Sholawat menyelamatkan pembacanya dari kejahatan orang yang mendoakan keburukan baginya.
Berpikir Ala Ulama Ahlusunnah wal Jama’ah
Dewasa ini kelompok-kelompok baru dalam Islam
khususnya di Indonesia banyak bermunculan. Beragam bentuk dan aksi
ditampilkan sehingga menambah deretan panjang firqah-firqah
Islam yang sudah ada. Umat pun menjadi berpetak-petak, begitulah
pemandangan yang dapat kita lihat. Diantara beberapa kelompok, ada yang
berlebihan dalam meyakini jalan yang dibina oleh kelompoknya, sehingga
cenderung mengkafirkan kelompok lain yang tidak sepaham dengannya.
Seolah kalau bukan kelompoknya bukan kawan. Kawan hanya dalam
kelompoknya. Beberapa kelompok itu biasanya selalu bersikukuh
mempertahankan pendapatnya sendiri walaupun pendapatnya itu keliru.
Tiap-tiap kelompok sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mencari kebenaran dalam hidup beragama. Hanya saja metode berpikir mereka yang salah. Hal inilah yang mengakibatkan mereka meleset dari makna kebenaran agama dan cenderung tersesat dan menyesatkan. Mereka terlalu mengandalkan rasionya dan dangkal dalam menafsirkan suatu Al-Qur’an dan Hadits.
Keadaan yang seperti ini ternyata membuat ulama Nahdlatul Ulama (NU) risau dan gelisah. Paham yang sudah dibina mulai dari puluhan tahun yang lalu, kini selalu disalahkan oleh kelompok yang tidak sepaham dengan NU. Warganya terus digoda dan dirayu supaya mengikuti paham kelompok-kelompok itu. Para ulama NU terus dirundung kekhawatiran. Sayang bagi warga NU kalau mengikuti jejak mereka itu.
Dan, akhirnya dari kekhawatiran, gelisahan, dan kerisauan itu, Nur Hidayat Muhammad tergerak untuk melawan dan membantengi warga NU dengan menerbitkan buku yang berjudul Siapakah Pengikut Salafus Shaleh? (Memahami Pola Keberagaman NU, Salafi Wahabi, HTI, MTA, dan LDII). Buku itu berisi perlawanan atas pernyataan kelompok-kelompok itu yang cenderung menyalahkan cara atau metode NU dalam beragama.
Misalnya tentang taqlid dan ittiba’. Salafi Wahabi menyatakan bahwa taqlid adalah sesuatu yang tercela, sedangkan ittiba’ adalah sesuatu yang terpuji. Namun pernyataan ini dijawab oleh Nur Hidayat Muhammad dalam bukunya itu, pertama secara mayoritas ulama ushul tidak pernah membedakan antara taqlid dan ittiba’. Kedua dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang memuji ittiba’ dan mencela ittiba’. Yang mencela ittiba’ terdapat dalam surah Al-Baqarah: 166-167. Adapun yang memuji ittiba’ terdapat dalam surah Yusuf: 108.
Dari ayat-ayat itu mempertegas bahwa ittiba’ tidak hanya hanya berlaku perilaku yang terpuji saja, tetapi perilaku buruk dan tercela juga kadang disebut ittiba’. (hal 57-58) Intinya, pernyataan Salafi Wahabi yang membedakan kedua istilah tersebut, dipertanyakan dalil-dalilnya dalam buku yang ditulis oleh pengurus forum ustadz dalam wadah Forum Komunikasi Islam (FKI) di wilayah Solo itu.
Secara bahasa, buku itu mudah dimengerti oleh setiap kalangan masyarakat. Membacanya mudah menemukan titik-titik kontroversial antara Ahlusunnah wal Jam’ah dan kelompok-kelompok, meminjam bahasa Nur Hidayat, sempalan”, seperti Salafi Wahabi dan saudara-saudaranya, MTA, LDII, dan Tarbiyyah.
Bid’ah yang menuai pemahaman yang kontroversial dikalangan ulama juga ada di dalam buku itu. Buku itu menjelaskan tentang bid’ah menurut pandangan ulama Ahlusunnah wal Jama’ah dan pandangan kelompok lain itu. (hal 29-38)
Lain dari pada itu, buku yang setebal 159 halaman itu menyajikan bagaimana metode pemikiran ulama Ahlusunnah wal Jama’ah dalam menyikapi setiap dinamika kehidupan yang seirama dengan agama. Kita diajak kembali bagaimana berpikir seperti ulama Ahlusunnah wal Jama’ah yang tidak mengandalkan nafsu dan jauh dari kepentingan apapun dalam setiap memutuskan suatu problematika hukum dan menafsirkan suatu ayat dan Hadits.
Dengan kehadiran buku itu sebenarnya bagi mereka yang cenderung melihat pendapatnya sendiri yang paling benar seolah pendapatnya orang lain salah, perlu kerendahan hatinya ditingkatkan untuk menerima kehadirannya. Buku itu jangan diibaratkan simbol teriakan permusuhan. Buatlah buku itu untuk mengintrospeksi diri dan Anggaplah buku itu petunjuk untuk memulai langkah ke jalan yang benar. Walhasil, buku itu sangat baik dibaca oleh siapa saja. Wallahu a’lam.
Data Buku
Judul : Siapakah Pengikut Salafus Shaleh? (Memahami Pola Keberagaman NU, Salafi Wahabi, HTI, MTA, dan LDII)
Penulis : Nur Hidayat Muhammad
Penerbit : Muara Progresif Surabaya
Cetakan : I, Mei 2014
Tebal : xvi + 159 hal. 14,5 x 21 cm
Peresensi : Moh. Sardiyono, pelajar alumni PP. Nasyiatul Muta’allimin Gapura Sumenep Madura dan Mahasiswa di UIN Sunan Ampel Surabaya
Tiap-tiap kelompok sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mencari kebenaran dalam hidup beragama. Hanya saja metode berpikir mereka yang salah. Hal inilah yang mengakibatkan mereka meleset dari makna kebenaran agama dan cenderung tersesat dan menyesatkan. Mereka terlalu mengandalkan rasionya dan dangkal dalam menafsirkan suatu Al-Qur’an dan Hadits.
Keadaan yang seperti ini ternyata membuat ulama Nahdlatul Ulama (NU) risau dan gelisah. Paham yang sudah dibina mulai dari puluhan tahun yang lalu, kini selalu disalahkan oleh kelompok yang tidak sepaham dengan NU. Warganya terus digoda dan dirayu supaya mengikuti paham kelompok-kelompok itu. Para ulama NU terus dirundung kekhawatiran. Sayang bagi warga NU kalau mengikuti jejak mereka itu.
Dan, akhirnya dari kekhawatiran, gelisahan, dan kerisauan itu, Nur Hidayat Muhammad tergerak untuk melawan dan membantengi warga NU dengan menerbitkan buku yang berjudul Siapakah Pengikut Salafus Shaleh? (Memahami Pola Keberagaman NU, Salafi Wahabi, HTI, MTA, dan LDII). Buku itu berisi perlawanan atas pernyataan kelompok-kelompok itu yang cenderung menyalahkan cara atau metode NU dalam beragama.
Misalnya tentang taqlid dan ittiba’. Salafi Wahabi menyatakan bahwa taqlid adalah sesuatu yang tercela, sedangkan ittiba’ adalah sesuatu yang terpuji. Namun pernyataan ini dijawab oleh Nur Hidayat Muhammad dalam bukunya itu, pertama secara mayoritas ulama ushul tidak pernah membedakan antara taqlid dan ittiba’. Kedua dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang memuji ittiba’ dan mencela ittiba’. Yang mencela ittiba’ terdapat dalam surah Al-Baqarah: 166-167. Adapun yang memuji ittiba’ terdapat dalam surah Yusuf: 108.
Dari ayat-ayat itu mempertegas bahwa ittiba’ tidak hanya hanya berlaku perilaku yang terpuji saja, tetapi perilaku buruk dan tercela juga kadang disebut ittiba’. (hal 57-58) Intinya, pernyataan Salafi Wahabi yang membedakan kedua istilah tersebut, dipertanyakan dalil-dalilnya dalam buku yang ditulis oleh pengurus forum ustadz dalam wadah Forum Komunikasi Islam (FKI) di wilayah Solo itu.
Secara bahasa, buku itu mudah dimengerti oleh setiap kalangan masyarakat. Membacanya mudah menemukan titik-titik kontroversial antara Ahlusunnah wal Jam’ah dan kelompok-kelompok, meminjam bahasa Nur Hidayat, sempalan”, seperti Salafi Wahabi dan saudara-saudaranya, MTA, LDII, dan Tarbiyyah.
Bid’ah yang menuai pemahaman yang kontroversial dikalangan ulama juga ada di dalam buku itu. Buku itu menjelaskan tentang bid’ah menurut pandangan ulama Ahlusunnah wal Jama’ah dan pandangan kelompok lain itu. (hal 29-38)
Lain dari pada itu, buku yang setebal 159 halaman itu menyajikan bagaimana metode pemikiran ulama Ahlusunnah wal Jama’ah dalam menyikapi setiap dinamika kehidupan yang seirama dengan agama. Kita diajak kembali bagaimana berpikir seperti ulama Ahlusunnah wal Jama’ah yang tidak mengandalkan nafsu dan jauh dari kepentingan apapun dalam setiap memutuskan suatu problematika hukum dan menafsirkan suatu ayat dan Hadits.
Dengan kehadiran buku itu sebenarnya bagi mereka yang cenderung melihat pendapatnya sendiri yang paling benar seolah pendapatnya orang lain salah, perlu kerendahan hatinya ditingkatkan untuk menerima kehadirannya. Buku itu jangan diibaratkan simbol teriakan permusuhan. Buatlah buku itu untuk mengintrospeksi diri dan Anggaplah buku itu petunjuk untuk memulai langkah ke jalan yang benar. Walhasil, buku itu sangat baik dibaca oleh siapa saja. Wallahu a’lam.
Data Buku
Judul : Siapakah Pengikut Salafus Shaleh? (Memahami Pola Keberagaman NU, Salafi Wahabi, HTI, MTA, dan LDII)
Penulis : Nur Hidayat Muhammad
Penerbit : Muara Progresif Surabaya
Cetakan : I, Mei 2014
Tebal : xvi + 159 hal. 14,5 x 21 cm
Peresensi : Moh. Sardiyono, pelajar alumni PP. Nasyiatul Muta’allimin Gapura Sumenep Madura dan Mahasiswa di UIN Sunan Ampel Surabaya
Langganan:
Postingan (Atom)