Kamis, 26 Februari 2015
MANFAAT MEMBACA AL-QUR’AN DAN KESEHATAN
Arti Qur’an menurut pendapat yang paling kuat seperti yang dikemukakan Dr. Subhi Al Salih berarti ‘bacaan’, asal kata qara`a.
Kata Alqur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf’ul yaitu maqru` (dibaca).
Adapun definisi Alqur’an adalah: “Kalam Allah swt. yang merupakan mu’jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada nabi Muhammad saw. dan ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah.”
Banyak ayat Al Qur’an yang mengisyaratkan tentang pengobatan karena AlQur’an itu sendiri diturunkan sebagai penawar dan Rahmat bagi orang-orang yang mukmin.
“Dan kami menurunkan Al Qur’an sebagai penawar dan Rahmat untuk orang-orang yang mu’min.”
(QS. Al Isra/17: 82)
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tentram.”
(QS. Ar Ra’d/13: 28)
Menurut para ahli tafsir bahwa nama lain dari Al Qur’an yaitu “Asysyifâ” yang artinya secara Terminologi adalah Obat Penyembuh.
“Hai manusia, telah datang kepadamu kitab yang berisi pelajaran dari Tuhanmu dan sebagai obat penyembuh jiwa, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
(QS. Yunus/10: 57)
Di samping Al Qur’an mengisyaratkan tentang pengobatan juga menceritakan tentang keindahan alam semesta yang dapat kita jadikan sebagai sumber dari pembuat obat- obatan.
“Dia menumbuhkan tanaman-tanaman untukmu, seperti zaitun, korma, anggur dan buah-buahan lain selengkapnya, sesungguhnya pada hal-hal yang demikian terdapat tanda-tanda Kekuasaan Allah bagi orang-orang yang mau memikirkan”.
(QS. An-Nahl 16:11)
“Dan makanlah oleh kamu bermacam-macam sari buah-buahan, serta tempuhlah jalan-jalan yang telah digariskan tuhanmu dengan lancar. Dari perut lebah itu keluar minuman madu yang bermacam-macam jenisnya dijadikan sebagai obat untuk manusia. Di alamnya terdapat tanda-tanda Kekuasaan Allah bagi orang-orang yang mau memikirkan”.
(QS. An-Nahl 16: 69)
Berdasarkan keterangan tadi, dapat dipastikan bahwa orang yang membaca Alqur’an akan merasakan ketenangan jiwa.
Banyak pula hadits Nabi yang menerangkan tentang keutamaan membacanya dan menghafalnya atau bahkan mempelajarinya.
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Alqur’an dan mengajarkannya.”
(HR Bukhori)
“Siapa saja yang disibukkan oleh Alqur’an dalam rangka berdzikir kepada-Ku, dan memohon kepada-Ku, niscaya Aku akan berikan sesuatu yang lebih utama daripada apa yang telah Aku berikan kepada orang-orang yang telah meminta. Dan keutamaannya Kalam Allah daripada seluruh kalam selain-Nya, seperti keutamaan Allah atas makhluk-Nya.”
(HR. At Turmudzi)
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah (masjid) Allah, mereka membaca Alqur’an dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketentraman, mereka diliputi dengan rahmat, malaikat menaungi mereka dan Allah menyebut-nyebut mereka pada makhluk yang ada di sisi-Nya”.
(HR. Muslim)
“Hendaklah kamu menggunakan kedua obat-obat: madu dan Alqur’an”
(HR. Ibnu Majah dan Ibnu Mas’ud)
Dan masih banyak lagi dalil yang menerangkan bahwa berbagai penyakit dapat disembuhkan dengan membaca atau dibacakan ayat-ayat Alqur’an
(lihat Assuyuthi, Jalaluddin, Al Qur’an sebagai Penyembuh (Alqur’an asy Syâfî), terj. Achmad Sunarto, Semarang, CV. Surya Angkasa Semarang, cet. I, 1995).
Walaupun tidak dibarengi dengan data ilmiah, Syaikh Ibrahim bin Ismail dalam karyanya Ta’lim al Muta’alim halaman 41, sebuah kitab yang mengupas tata krama mencari ilmu berkata,
“Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang kuat ingatan atau hafalannya. Di antaranya, menyedikitkan makan, membiasakan melaksanakan ibadah salat malam, dan membaca Alquran sambil melihat kepada mushaf”. Selanjutnya ia berkata, “Tak ada lagi bacaan yang dapat meningkatkan terhadap daya ingat dan memberikan ketenangan kepada seseorang kecuali membaca Alqur’an”.
Dr. Al Qadhi, melalui penelitiannya yang panjang dan serius di Klinik Besar Florida Amerika Serikat, berhasil membuktikan hanya dengan mendengarkan bacaan ayat-ayat Alquran, seorang Muslim, baik mereka yang berbahasa Arab maupun bukan, dapat merasakan perubahan fisiologis yang sangat besar.
Penurunan depresi, kesedihan, memperoleh ketenangan jiwa, menangkal berbagai macam penyakit merupakan pengaruh umum yang dirasakan orang-orang yang menjadi objek penelitiannya. Penemuan sang dokter ahli jiwa ini tidak serampangan. Penelitiannya ditunjang dengan bantuan peralatan elektronik terbaru untuk mendeteksi tekanan darah, detak jantung, ketahanan otot, dan ketahanan kulit terhadap aliran listrik. Dari hasil uji cobanya ia berkesimpulan, bacaan Alquran berpengaruh besar hingga 97% dalam melahirkan ketenangan jiwa dan penyembuhan penyakit.
Penelitian Dr. Al Qadhi ini diperkuat pula oleh penelitian lainnya yang dilakukan oleh dokter yang berbeda. Dalam laporan sebuah penelitian yang disampaikan dalam Konferensi Kedokteran Islam Amerika Utara pada tahun 1984, disebutkan, Alquran terbukti mampu mendatangkan ketenangan sampai 97% bagi mereka yang men dengarkannya.
Kesimpulan hasil uji coba tersebut diperkuat lagi oleh penelitian Muhammad Salim yang dipublikasikan Universitas Boston. Objek penelitiannya terhadap 5 orang sukarelawan yang terdiri dari 3 pria dan 2 wanita. Kelima orang tersebut sama sekali tidak mengerti bahasa Arab dan mereka pun tidak diberi tahu bahwa yang akan diperdengarkannya adalah Alqur’an.
Penelitian yang dilakukan sebanyak 210 kali ini terbagi dua sesi, yakni membacakan Alquran dengan tartil dan membacakan bahasa Arab yang bukan dari Alqur’an. Kesimpulannya, responden mendapatkan ketenangan sampai 65% ketika mendengarkan bacaan Alquran dan mendapatkan ketenangan hanya 35% ketika mendengarkan bahasa Arab yang bukan dari Alqur’an.
Alquran memberikan pengaruh besar jika diperdengarkan kepada bayi. Hal tersebut diungkapkan Dr. Nurhayati dari Malaysia dalam Seminar Konseling dan Psikoterapi Islam di Malaysia pada tahun 1997. Menurut penelitiannya, bayi yang berusia 48 jam yang kepadanya diperdengarkan ayat-ayat Alquran dari tape recorder menunjukkan respons tersenyum dan menjadi lebih tenang.
Sungguh suatu kebahagiaan dan merupakan kenikmatan yang besar, kita memiliki Alquran. Selain menjadi ibadah dalam membacanya, bacaannya memberikan pengaruh besar bagi kehidupan jasmani dan rohani kita. Jika mendengarkan musik klasik dapat memengaruhi kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ) seseorang, bacaan Alquran lebih dari itu. Selain memengaruhi IQ dan EQ, bacaan Alquran memengaruhi kecerdasan spiritual (SQ).
Mahabenar Allah yang telah berfirman, “Dan apabila dibacakan Alquran, simaklah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”
(Q.S. 7: 204).
Atau juga, “Dan Kami telah menurunkan dari Alquran, suatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”
(Q.S.17:82).
Atau, “Ingatlah, hanya dengan berdzikir kepada Allah-lah hati menjadi tentram”
(Q.S. 13: 28).
Unsur Meditasi Al Qur’an
Kitab ini, tentu saja bukanlah sebuah buku sains ataupun buku kedokteran, namun Alqur’an menyebut dirinya sebagai ‘penyembut penyakit’, yang oleh kaum Muslim diartikan bahwa petunjuk yang dikandungnya akan membawa manusia pada kesehatan spiritual, psikologis, dan fisik.
Kesembuhan menggunakan Alqur’an dapat dilakukan dengan membaca, berdekatan dengannya, dan mendengarkannya. Membaca, mendengar, memperhatikan dan berdekatan dengannya ialah bahwasanya Alqur’an itu dibaca di sisi orang yang sedang menderita sakit sehingga akan turun rahmat kepada mereka.
Allah saw menjelaskan,
“Dan apabila dibacakan Alqur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”
(QS. Al A’raf: 204)
Menurut hemat penulis, salah satu unsur yang dapat dikatakan meditasi dalam Alquran adalah, pertama, auto sugesti, dan kedua, adalah hukum- hukum bacaan yaitu waqaf.
Aspek Auto Sugesti
Alqur’an merupakan kitab suci umat Islam yang berisikan firman-firman Allah. Banyak sekali nasihat-nasihat, berita-berita kabar gembira bagi orang yang beriman dan beramal sholeh, dan berita-berita ancaman bagi mereka yang tidak beriman dan atau tidak beramal sholeh.
Maka, alqur’an berisikan ucapan-ucapan yang baik, yang dalam istilah Alqur’an sendiri, ahsan alhadits. Kata-kata yang penuh kebaikan sering memberikan efek auto sugesti yang positif dan yang akan menimbulkan ketenangan.
Platonov telah membuktikan dalam eksperimennya bahwa kata-kata sebagai suatu Conditioned Stimulus (Premis dari Pavlov) memang benar-benar menimbulkan perubahan sesuai dengan arti atau makna kata-kata tersebut pada diri manusia. Pada eksperimen Plotonov, kata-kata yang digunakan adalah tidur, tidur dan memang individu tersebut akhirnya tertidur.
Pikiran dan tubuh dapat berinteraksi dengan cara yang amat beragam untuk menimbul kan kesehatan atau penyakit.
Zakiah Daradjat mengatakan bahwa sembahyang, do’a-do’a dan permohonan ampun kepada Allah, semuanya merupakan cara-cara pelegaan batin yang akan mengembalikan ketenangan dan ketentraman jiwa kepada orang-orang yang melakukannya.
Relaksasi
Aspek Waqof
Alqur’an adalah sebuah kitab suci yang mempunyai kode etik dalam membacanya. Membaca Alqur’an tidak seperti membaca bacaan-bacaan lainnya. Membaca Alqur’an harus tanpa nafas dalam pengertian sang pembaca harus membaca dengan sekali nafas hingga kalimat-kalimat tertentu atau hingga tanda-tanda tertentu yang dalam istilah ilmu tajwid dinamakan waqaf. Jika si pembaca berhenti pada tempat yang tidak semestinya maka dia harus membaca ulang kata atau kalimat sebelumnya.
Waqof artinya berhenti di suatu kata ketika membaca Alqur’an, baik di akhir ayat maupun di tengah ayat dan disertai nafas. Mengikuti tanda-tanda waqof yang ada dalam Alqur’an, kedudukannya tidak dihukumi wajib syar’i bagi yang melanggarnya. Walaupun jika berhenti dengan sengaja pada kalimat-kalimat tertentu yang dapat merusak arti dan makna yang dimaksud, maka hukumnya haram.
Jadi cara membaca Alqur’an itu bisa disesuaikan dengan tanda-tanda waqaf dalam Alqur’an atau disesuaikan dengan kemampuan si pembaca dengan syarat bahwa bacaan yang dibacanya tidak berubah arti atau makna.
Waqaf dalam Alquran
- Tanda awal atau akhir ayat
- Tanda awal atau akhir surat
- Tanda-tanda waqaf
Kemampuan nafas pembaca
Siapa saja bisa boleh membaca Alqur?an, baik anak kecil, muda maupun tua, baik pria maupun wanita selagi mereka dalam keadaan suci atau berwudlu. Jadi bagaimanapun kemampuan mereka bernafas mereka boleh membaca Alqur’an. Berhenti berdasarkan kemampuan nafas pembaca, dalam ilmu tajwid, bisa dikategorikan dalam bagian-bagian waqaf.
Adapula beberapa penekanan nafas dalam membaca Alqur’an. Penekanan-penekanan tersebut dalam ilmu tajwid dinamakan mad.
Indonesia adalah negara yang mayoritas umat Islam menerapkan hukum-hukum membaca Alqur’an menurut Rowi, Hafsh, yang telah berguru kepada imam ‘Ashim. Adapun hukum-hukum bacaan mad dalam ilmu Tajwid menurut Rowi Hafsh adalah:
- Mad Munfashil,
yaitu apabila terdapat mad bertemu dengan hamzah dalam kalimat yang terpisah. Cara baca hukum ini 4 harakat. - Mad Badal,
yaitu apabila terdapat hamzah yang berharakat bertemu dengan huruf mad yang sukun. Cara membaca hukum ini adalah 2 harakat.
Waktu Meditasi dengan Alqur’an
Pada hakikatnya tidak ada waktu yang makruh untuk membaca/meditasi Alqur’an, hanya saja memang ada beberapa dalil yang menerangkan bahwa ada waktu-waktu yang lebih utama dari waktu-waktu yang lainnya untuk membaca Alqur’an. Waktu-waktu tersebut adalah:
1. Dalam sholat
An-Nawawi berkata;
‘Waktu-waktu pilihan yang paling utama untuk membaca Alqur’an ialah dalam sholat.’
Al Baihaqi meriwayatkan dalam asy Syu’ab dari Ka’ab r.a. ia berkata:
“Allah telah memilih negeri-negeri, maka negeri-negeri yang lebih dicintai Allah ialah negeri al Haram (Mekkah). Allah telah memilih zaman, maka zaman yang lebih dicintai Allah ialah bulan-bulan haram. Dan bulan yang lebih dicintai Allah ialah bulan dzulhijjah. Hari-hari bulan Dzulhijjah yang lebih dicintai Allah ialah sepuluh hari yang pertama. Allah telah memilih hari-hari, maka hari yang lebih dicintai Allah ialah hari Jum?at. Malam-malam yang lebih dicintai Allah ialah malam Qadar. Allah telah memilih waktu-waktu malam dan siang, maka waktu yang lebih dicintai Allah ialah waktu-waktu sholat yang lima waktu. Allah telah memilih kalam-kalam (perkataan), maka kalam yang dicintai Allah adalah lafadz ‘La ilâha illallâh wallâhu akbar wa subhanallâhi wal hamdulillâh.“
2. Malam hari
Waktu-waktu yang paling utama untuk membaca Alqur’an selain waktu sholat adalah waktu malam,
Allah menegaskan,
“Di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sholat).”
(QS. Ali Imron 3:113)
Waktu malam ini pun dibagi menjadi 2:
- Antara waktu Maghrib dan Isya
- Bagian malam yang terakhir
3. Setelah Subuh
Sebagai penutup mudah-mudahan ini merupakan langkah awal untuk bisa lebih membuktikan unsur-unsur kesehatan dari Alqur’an, baik makna-maknanya, cara membacanya maupun lainnya.
Dahsyatnya Keutamaan dan Manfaat Sholawat
Sebenarnya hadist-hadist yang menjelaskan keutamaan sholawat sangatlah
banyak, mengingat manfaat yang dapat diperoleh dengan bersholawat juga
sangat banyak. Berikut beberapa hadistnya:
Riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah r.a., Nabi saw. bersabda,
"Barang siapa bershalawat kepadaku satu kali, nicaya Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali."
Riwayat lainnya, dari Ibn Mas'ud r.a., Rasulullah bersabda,
"Sesungguhnya manusia yang paling utama di sisiku pada hari kiamat nanti adalah yang paling banyak memanjatkan shalawat untukku."
(HR Al-Tirmidzi dan Ibn Hibban)
Hadist lainnya menyebutkan,
"Orang yang kikir adalah orang yang disebut namaku di sisinya, tetapi dia tidak bershalawat kepadaku."
(HR Al-Tirmidzi, Al-Nasa'i, Ibn Hibban, dan Al-Hakim)
"Shalawat dari umatku akan ditujukan kepadaku setiap hari Jumat. Barang siapa paling banyak shalawatnya, niscaya ia lebih dekat kedudukannya denganku."
(HR Al-Baihaqi dan Abu Umamah)
Untuk lebih singkatnya, berikut ini saya rangkum manfaat-manfaat sholawat:
- Sejalan dengan Allah swt. dalam bershalawat kepada Rasulullah saw.
- Sejalan dengan malaikat dalam bershalawat kepada Rasulullah saw.
- Meraih sepuluh shalawat dari Allah swt.
- Diangkat sepuluh derajat atas kedudukannya di sisi Allah.
- Dituliskan baginya sepuluh kebaikan dan dihapuskan darinya sepuluh kejelekan.
- Dikabulkan segala doa yang dipanjatkannya.
- Meraih syafaat Nabi Muhammad saw.
- Diampuni segala dosa dan ditutup seluruh aib hidup.
- Mencapai segala sesuatu yang dicita-citakan.
- Mendekatkan diri seorang hamba kepada Rasul-Nya.
- Allah dan para malaikat akan bershalawat kepada orang yang membaca shalawat.
- Menyucikan dan membersihkan jiwa orang yang membaca shalawat.
- Membahagiakan seorang hamba dengan janji surga sebelum dia wafat.
- Shalawat menyelamatkan pembacanya dari segala kesulitan di hari kiamat.
- Shalawat menjadi faktor yang membuat Rasulullah saw. menjawab apa yang dibacanya.
- Membuat orang yang membacanya menjadi ingat atas segala hal yang dilupakannya.
- Shalawat menempatkan pembacanya pada majelis yang mulia dan tidak mengembalikannya kepad keadaan rugi di hari kiamat nanti.
- Menghilangkan perasaan bakhil.
- Sholawat menyelamatkan pembacanya dari kejahatan orang yang mendoakan keburukan baginya.
Berpikir Ala Ulama Ahlusunnah wal Jama’ah
Dewasa ini kelompok-kelompok baru dalam Islam
khususnya di Indonesia banyak bermunculan. Beragam bentuk dan aksi
ditampilkan sehingga menambah deretan panjang firqah-firqah
Islam yang sudah ada. Umat pun menjadi berpetak-petak, begitulah
pemandangan yang dapat kita lihat. Diantara beberapa kelompok, ada yang
berlebihan dalam meyakini jalan yang dibina oleh kelompoknya, sehingga
cenderung mengkafirkan kelompok lain yang tidak sepaham dengannya.
Seolah kalau bukan kelompoknya bukan kawan. Kawan hanya dalam
kelompoknya. Beberapa kelompok itu biasanya selalu bersikukuh
mempertahankan pendapatnya sendiri walaupun pendapatnya itu keliru.
Tiap-tiap kelompok sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mencari kebenaran dalam hidup beragama. Hanya saja metode berpikir mereka yang salah. Hal inilah yang mengakibatkan mereka meleset dari makna kebenaran agama dan cenderung tersesat dan menyesatkan. Mereka terlalu mengandalkan rasionya dan dangkal dalam menafsirkan suatu Al-Qur’an dan Hadits.
Keadaan yang seperti ini ternyata membuat ulama Nahdlatul Ulama (NU) risau dan gelisah. Paham yang sudah dibina mulai dari puluhan tahun yang lalu, kini selalu disalahkan oleh kelompok yang tidak sepaham dengan NU. Warganya terus digoda dan dirayu supaya mengikuti paham kelompok-kelompok itu. Para ulama NU terus dirundung kekhawatiran. Sayang bagi warga NU kalau mengikuti jejak mereka itu.
Dan, akhirnya dari kekhawatiran, gelisahan, dan kerisauan itu, Nur Hidayat Muhammad tergerak untuk melawan dan membantengi warga NU dengan menerbitkan buku yang berjudul Siapakah Pengikut Salafus Shaleh? (Memahami Pola Keberagaman NU, Salafi Wahabi, HTI, MTA, dan LDII). Buku itu berisi perlawanan atas pernyataan kelompok-kelompok itu yang cenderung menyalahkan cara atau metode NU dalam beragama.
Misalnya tentang taqlid dan ittiba’. Salafi Wahabi menyatakan bahwa taqlid adalah sesuatu yang tercela, sedangkan ittiba’ adalah sesuatu yang terpuji. Namun pernyataan ini dijawab oleh Nur Hidayat Muhammad dalam bukunya itu, pertama secara mayoritas ulama ushul tidak pernah membedakan antara taqlid dan ittiba’. Kedua dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang memuji ittiba’ dan mencela ittiba’. Yang mencela ittiba’ terdapat dalam surah Al-Baqarah: 166-167. Adapun yang memuji ittiba’ terdapat dalam surah Yusuf: 108.
Dari ayat-ayat itu mempertegas bahwa ittiba’ tidak hanya hanya berlaku perilaku yang terpuji saja, tetapi perilaku buruk dan tercela juga kadang disebut ittiba’. (hal 57-58) Intinya, pernyataan Salafi Wahabi yang membedakan kedua istilah tersebut, dipertanyakan dalil-dalilnya dalam buku yang ditulis oleh pengurus forum ustadz dalam wadah Forum Komunikasi Islam (FKI) di wilayah Solo itu.
Secara bahasa, buku itu mudah dimengerti oleh setiap kalangan masyarakat. Membacanya mudah menemukan titik-titik kontroversial antara Ahlusunnah wal Jam’ah dan kelompok-kelompok, meminjam bahasa Nur Hidayat, sempalan”, seperti Salafi Wahabi dan saudara-saudaranya, MTA, LDII, dan Tarbiyyah.
Bid’ah yang menuai pemahaman yang kontroversial dikalangan ulama juga ada di dalam buku itu. Buku itu menjelaskan tentang bid’ah menurut pandangan ulama Ahlusunnah wal Jama’ah dan pandangan kelompok lain itu. (hal 29-38)
Lain dari pada itu, buku yang setebal 159 halaman itu menyajikan bagaimana metode pemikiran ulama Ahlusunnah wal Jama’ah dalam menyikapi setiap dinamika kehidupan yang seirama dengan agama. Kita diajak kembali bagaimana berpikir seperti ulama Ahlusunnah wal Jama’ah yang tidak mengandalkan nafsu dan jauh dari kepentingan apapun dalam setiap memutuskan suatu problematika hukum dan menafsirkan suatu ayat dan Hadits.
Dengan kehadiran buku itu sebenarnya bagi mereka yang cenderung melihat pendapatnya sendiri yang paling benar seolah pendapatnya orang lain salah, perlu kerendahan hatinya ditingkatkan untuk menerima kehadirannya. Buku itu jangan diibaratkan simbol teriakan permusuhan. Buatlah buku itu untuk mengintrospeksi diri dan Anggaplah buku itu petunjuk untuk memulai langkah ke jalan yang benar. Walhasil, buku itu sangat baik dibaca oleh siapa saja. Wallahu a’lam.
Data Buku
Judul : Siapakah Pengikut Salafus Shaleh? (Memahami Pola Keberagaman NU, Salafi Wahabi, HTI, MTA, dan LDII)
Penulis : Nur Hidayat Muhammad
Penerbit : Muara Progresif Surabaya
Cetakan : I, Mei 2014
Tebal : xvi + 159 hal. 14,5 x 21 cm
Peresensi : Moh. Sardiyono, pelajar alumni PP. Nasyiatul Muta’allimin Gapura Sumenep Madura dan Mahasiswa di UIN Sunan Ampel Surabaya
Tiap-tiap kelompok sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mencari kebenaran dalam hidup beragama. Hanya saja metode berpikir mereka yang salah. Hal inilah yang mengakibatkan mereka meleset dari makna kebenaran agama dan cenderung tersesat dan menyesatkan. Mereka terlalu mengandalkan rasionya dan dangkal dalam menafsirkan suatu Al-Qur’an dan Hadits.
Keadaan yang seperti ini ternyata membuat ulama Nahdlatul Ulama (NU) risau dan gelisah. Paham yang sudah dibina mulai dari puluhan tahun yang lalu, kini selalu disalahkan oleh kelompok yang tidak sepaham dengan NU. Warganya terus digoda dan dirayu supaya mengikuti paham kelompok-kelompok itu. Para ulama NU terus dirundung kekhawatiran. Sayang bagi warga NU kalau mengikuti jejak mereka itu.
Dan, akhirnya dari kekhawatiran, gelisahan, dan kerisauan itu, Nur Hidayat Muhammad tergerak untuk melawan dan membantengi warga NU dengan menerbitkan buku yang berjudul Siapakah Pengikut Salafus Shaleh? (Memahami Pola Keberagaman NU, Salafi Wahabi, HTI, MTA, dan LDII). Buku itu berisi perlawanan atas pernyataan kelompok-kelompok itu yang cenderung menyalahkan cara atau metode NU dalam beragama.
Misalnya tentang taqlid dan ittiba’. Salafi Wahabi menyatakan bahwa taqlid adalah sesuatu yang tercela, sedangkan ittiba’ adalah sesuatu yang terpuji. Namun pernyataan ini dijawab oleh Nur Hidayat Muhammad dalam bukunya itu, pertama secara mayoritas ulama ushul tidak pernah membedakan antara taqlid dan ittiba’. Kedua dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang memuji ittiba’ dan mencela ittiba’. Yang mencela ittiba’ terdapat dalam surah Al-Baqarah: 166-167. Adapun yang memuji ittiba’ terdapat dalam surah Yusuf: 108.
Dari ayat-ayat itu mempertegas bahwa ittiba’ tidak hanya hanya berlaku perilaku yang terpuji saja, tetapi perilaku buruk dan tercela juga kadang disebut ittiba’. (hal 57-58) Intinya, pernyataan Salafi Wahabi yang membedakan kedua istilah tersebut, dipertanyakan dalil-dalilnya dalam buku yang ditulis oleh pengurus forum ustadz dalam wadah Forum Komunikasi Islam (FKI) di wilayah Solo itu.
Secara bahasa, buku itu mudah dimengerti oleh setiap kalangan masyarakat. Membacanya mudah menemukan titik-titik kontroversial antara Ahlusunnah wal Jam’ah dan kelompok-kelompok, meminjam bahasa Nur Hidayat, sempalan”, seperti Salafi Wahabi dan saudara-saudaranya, MTA, LDII, dan Tarbiyyah.
Bid’ah yang menuai pemahaman yang kontroversial dikalangan ulama juga ada di dalam buku itu. Buku itu menjelaskan tentang bid’ah menurut pandangan ulama Ahlusunnah wal Jama’ah dan pandangan kelompok lain itu. (hal 29-38)
Lain dari pada itu, buku yang setebal 159 halaman itu menyajikan bagaimana metode pemikiran ulama Ahlusunnah wal Jama’ah dalam menyikapi setiap dinamika kehidupan yang seirama dengan agama. Kita diajak kembali bagaimana berpikir seperti ulama Ahlusunnah wal Jama’ah yang tidak mengandalkan nafsu dan jauh dari kepentingan apapun dalam setiap memutuskan suatu problematika hukum dan menafsirkan suatu ayat dan Hadits.
Dengan kehadiran buku itu sebenarnya bagi mereka yang cenderung melihat pendapatnya sendiri yang paling benar seolah pendapatnya orang lain salah, perlu kerendahan hatinya ditingkatkan untuk menerima kehadirannya. Buku itu jangan diibaratkan simbol teriakan permusuhan. Buatlah buku itu untuk mengintrospeksi diri dan Anggaplah buku itu petunjuk untuk memulai langkah ke jalan yang benar. Walhasil, buku itu sangat baik dibaca oleh siapa saja. Wallahu a’lam.
Data Buku
Judul : Siapakah Pengikut Salafus Shaleh? (Memahami Pola Keberagaman NU, Salafi Wahabi, HTI, MTA, dan LDII)
Penulis : Nur Hidayat Muhammad
Penerbit : Muara Progresif Surabaya
Cetakan : I, Mei 2014
Tebal : xvi + 159 hal. 14,5 x 21 cm
Peresensi : Moh. Sardiyono, pelajar alumni PP. Nasyiatul Muta’allimin Gapura Sumenep Madura dan Mahasiswa di UIN Sunan Ampel Surabaya
Dahsyatnya Tiga Kata Ajaib
Dalam kehidupan sehari-hari, seorang individu
manusia tidak bisa lepas dari orang lain. Tidak mungkin seorang manusia
dapat menunaikan tugas kekhalifahannya secara mandiri. Tentu, dibutuhkan
peran dari individu yang lain. Karena itulah, manusia disebut sebagai
makhluk sosial. Dari segi perspektif agama (baca: Islam), manusia tentu
tidak dapat dilepaskan dari campur tangan Allah swt. Dengan kata lain,
ada dua jenis hubungan, yakni hubungan manusia dengan Tuhannya (hablum minallah) dan hubungan sesama manusia (hablum minannaas).
Setiap kali berhubungan dengan manusia maupun Tuhan (Allah swt), tentu dibutuhkan etika komunikasi. Komunikasi yang positif tentu akan memiliki dampak yang positif. Sebaliknya seringkali permusuhan terjadi, diakibatkan komunikasi yang negatif. Oleh karena itu, hadirnya buku ini patut diapresiasi secara baik. Mengapa? Dengan bahasa yang “renyah” namun “padat”, Salman Ali Rofiq, mengurai habis kemukjizatan tiga kata dalam praktik komunikasi sehari-hari.
Tiga kata tersebut adalah kata “tolong”, “maaf”, dan “terima kasih”. Tiga kata ini memiliki kekuatan yang luar biasa. Penulis buku ini menegaskan bahwa, jika kata ajaib ini diucapkan dengan cara yang benar dan tepat waktunya, ia mampu mengubah lawan menjadi kawan; mengubah benci menjadi cinta, bahkan menyulap amarah menjadi kasih sayang.
Kekuatan ketiga kata ajaib tersebut dikupas-tuntas dalam buku ini. Kelebihan buku ini, pembahasannya dilandasakan pada nilai-nilai ajaran Islam. Ketiga kata ajaib tersebut memiliki dasar hukum yang jelas dan diatur oleh ajaran agama. Dengan demikian, jika dalam etika berkomunikasi, kita mengamalkan ketiga kata tersebut, tentu hal ini berarti kita mengamalkan ajaran agama.
Dalam ajaran Islam, tolong-menolong, saling memaafkan, dan pandai berterima kasih dinilai sebagai perbuatan baik yang dijanjikan pahala bagi siapa saja yang melakukannya. Semua itu merupakan perintah langsung dari Allah swt kepada hamba-Nya. (hlm. 9). Beberapa firman Allah tentang tiga kata ini termaktub dalam al-Qur’an: 1) Surat Al-Maidah ayat 2 (tolong-menolong); 2) Surat Al-Hijr ayat 85 (memaafkan); dan 3) Surat Saba’ ayat 13 (berterima kasih).
Ketiga ayat tersebut, secara tegas menyiratkan kepada kita bahwa perbuatan tolong-menolong, memaafkan, dan berterima kasih merupakan perbuatan atau amalan yang telah digariskan Allah swt. Lebih lanjut, Rofiq (2014)-penulis buku ini, menyatakan bahwa secara teologis, perbuatan tolong-menolong, saling memaafkan, berterima kasih merupakan perbuatan yang berpahala. Namun, ketiganya juga merupakan perbuatan yang dapat menjadi faktor penentu bagi keberhasilan dan kesuksesan seseorang meraih cita-cita di dunia.
Adanya hikayat, kisah, kata mutiara yang mengandung pesan-pesan nilai kebaikan dari tiga kata ajaib, menjadikan buku ini memiliki nilai plus dibanding buku kebanyakan yang sudah lebih dulu terbit. Dengan pemaparannya yang luwes, penulis buku ini berusaha menyuguhkan kekuatan tiga kata ajaib tersebut secara konteksual. Artinya, penulis tidak dalam rangka melakukan “doktrinisasi” terhadap pembaca. Namun, penulis berupaya membuka ruang refleksi diri bagi pembaca dalam kehidupannya. Pembaca diajak untuk merenung diri yang dilandasi dengan ajaran agama dan pelbagai hikmah yang terkandung dalam cerita.
Tidak ada ruginya untuk memiliki buku ini. Didalamnya mengupas secara gamblang tentang kekuatan tiga kata ajaib. Sebagai manusia, sudah selayaknya, kita selalu mengedepankan etika komunikasi yang apik. Selalu tolong-menolong, saling memaafkan, dan suka berterima kasih. Jika kita berhasil merangkai ketiga kata ajaib ini dalam kehidupan, sungguh kita termasuk orang yang luar biasa.
Data buku:
Judul Buku : Tiga Kata Ajaib: Dahsyatnya Energi Ungkapan “Tolong”, “Maaf”, dan “Terima Kasih”
Penulis : Salman Ali Rofiq
Penerbit : DIVA Press, Yogyakarta
Cetakan : November 2014
Tebal : 252 Halaman
ISBN : 978-602-255-746-3
Peresensi : Abdul Halim Fathani, Alumnus Pascasarjana Universitas Negeri Malang
Setiap kali berhubungan dengan manusia maupun Tuhan (Allah swt), tentu dibutuhkan etika komunikasi. Komunikasi yang positif tentu akan memiliki dampak yang positif. Sebaliknya seringkali permusuhan terjadi, diakibatkan komunikasi yang negatif. Oleh karena itu, hadirnya buku ini patut diapresiasi secara baik. Mengapa? Dengan bahasa yang “renyah” namun “padat”, Salman Ali Rofiq, mengurai habis kemukjizatan tiga kata dalam praktik komunikasi sehari-hari.
Tiga kata tersebut adalah kata “tolong”, “maaf”, dan “terima kasih”. Tiga kata ini memiliki kekuatan yang luar biasa. Penulis buku ini menegaskan bahwa, jika kata ajaib ini diucapkan dengan cara yang benar dan tepat waktunya, ia mampu mengubah lawan menjadi kawan; mengubah benci menjadi cinta, bahkan menyulap amarah menjadi kasih sayang.
Kekuatan ketiga kata ajaib tersebut dikupas-tuntas dalam buku ini. Kelebihan buku ini, pembahasannya dilandasakan pada nilai-nilai ajaran Islam. Ketiga kata ajaib tersebut memiliki dasar hukum yang jelas dan diatur oleh ajaran agama. Dengan demikian, jika dalam etika berkomunikasi, kita mengamalkan ketiga kata tersebut, tentu hal ini berarti kita mengamalkan ajaran agama.
Dalam ajaran Islam, tolong-menolong, saling memaafkan, dan pandai berterima kasih dinilai sebagai perbuatan baik yang dijanjikan pahala bagi siapa saja yang melakukannya. Semua itu merupakan perintah langsung dari Allah swt kepada hamba-Nya. (hlm. 9). Beberapa firman Allah tentang tiga kata ini termaktub dalam al-Qur’an: 1) Surat Al-Maidah ayat 2 (tolong-menolong); 2) Surat Al-Hijr ayat 85 (memaafkan); dan 3) Surat Saba’ ayat 13 (berterima kasih).
Ketiga ayat tersebut, secara tegas menyiratkan kepada kita bahwa perbuatan tolong-menolong, memaafkan, dan berterima kasih merupakan perbuatan atau amalan yang telah digariskan Allah swt. Lebih lanjut, Rofiq (2014)-penulis buku ini, menyatakan bahwa secara teologis, perbuatan tolong-menolong, saling memaafkan, berterima kasih merupakan perbuatan yang berpahala. Namun, ketiganya juga merupakan perbuatan yang dapat menjadi faktor penentu bagi keberhasilan dan kesuksesan seseorang meraih cita-cita di dunia.
Adanya hikayat, kisah, kata mutiara yang mengandung pesan-pesan nilai kebaikan dari tiga kata ajaib, menjadikan buku ini memiliki nilai plus dibanding buku kebanyakan yang sudah lebih dulu terbit. Dengan pemaparannya yang luwes, penulis buku ini berusaha menyuguhkan kekuatan tiga kata ajaib tersebut secara konteksual. Artinya, penulis tidak dalam rangka melakukan “doktrinisasi” terhadap pembaca. Namun, penulis berupaya membuka ruang refleksi diri bagi pembaca dalam kehidupannya. Pembaca diajak untuk merenung diri yang dilandasi dengan ajaran agama dan pelbagai hikmah yang terkandung dalam cerita.
Tidak ada ruginya untuk memiliki buku ini. Didalamnya mengupas secara gamblang tentang kekuatan tiga kata ajaib. Sebagai manusia, sudah selayaknya, kita selalu mengedepankan etika komunikasi yang apik. Selalu tolong-menolong, saling memaafkan, dan suka berterima kasih. Jika kita berhasil merangkai ketiga kata ajaib ini dalam kehidupan, sungguh kita termasuk orang yang luar biasa.
Data buku:
Judul Buku : Tiga Kata Ajaib: Dahsyatnya Energi Ungkapan “Tolong”, “Maaf”, dan “Terima Kasih”
Penulis : Salman Ali Rofiq
Penerbit : DIVA Press, Yogyakarta
Cetakan : November 2014
Tebal : 252 Halaman
ISBN : 978-602-255-746-3
Peresensi : Abdul Halim Fathani, Alumnus Pascasarjana Universitas Negeri Malang
Selasa, 24 Februari 2015
Ketika Novel Menaklukkan Mitologi Gus Dur

Disebut berani, karena di novel itu sosok KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagi tema utama disajikan dalam bentuk monolog imajiner. Sehingga saat membaca novel ini kita seakan sedang membaca langsung penuturan Gus Dur. Dalam novel setebal 300 halaman ini kita akan melihat secara imajinatif bagaimana perasaan Gus Dur dalam melihat realitas kehidupan dirinya sendiri.
Tentu, pilihan artikulasi novel dengan "aku lirik" memiliki peluang resiko yang sangat besar, yakni subyektivitas. Tapi, itulah sastra. Sastra sebagai seni literasi selalu punya cara dalam menghadirkan ragam peristiwa. Dan setidaknya, Abdullah Wong sebagai penulis novel ini telah berhasil melompat sekat kebekuan dalam meliat Gus Dur.
Wong, demikian nama akrab penulis novel ini, bukan lagi melihat Gus Dur sebagai orang ketiga, tapi si penulis menempatkan diri untuk masuk dan tenggelam dalam Gus Dur, lalu menghadirkan diksi-diksinya.
Hal yang kedua adalah unik. Novel terbitan Expose ini dikatakan unik karena tidak sebagaimana buku atau novel yang lain, yang biasanya bercerita secara kronologis historis. Novel ini sangat liar. Kita akan diajak secara imajinatif oleh penulis untuk menyusup relung-relung kegelisahan Gus Dur tanpa permisi atau kulonuwun. Secara liar, penulis menghadirkan peristiwa demi peristiwa secara acak, sehingga memungkinkan para pembaca harus selalu terjaga dan tidak boleh lengah menyusuri kata per kata dari setiap bangunan novel ini.
Mungkin, penulis punya alasan. Alasan itu mungkin, di antaranya Gus Dur dianggap memiliki cara berpikir yang liar. Bahwa dalam berbagai kesempatan, Gus Dur memang dikenal selalu menyampaikan hal-hal yang secara tak terduga. Apa yang disampaikan Gus Dur kadang sering dipahami selalu lompat-lompat, tidak kronologis dan sistematis. Padahal, tak tentu Gus Dur memandang realitas secara demikian. Karena jika kita pahami secara saksama, Gus Dur sangat runtut dan sistematis ketika menyampaikan gagasan-gagasannya. Tapi, entah kenapa penulis novel ini menyajikan cerita Gus Dur tidak dengan cara demikian.
Mungkin itulah si penulis. Karena memang, jika kisah hidup Gus Dur ditampilkan dengan gaya kronologis, para pembaca akan mudah lelah dan menyerah karena dapat menebak ujung dari cerita pada novel ini. Sementara, hampir semua kalangan telah tahu--setidaknya sebagian kalangan--bagaimana alur kehidupan Gus Dur, baik sejarah hidup, pemikiran, karier, hingga kelakar-kelakarnya.
Dan strategi penulis novel ini cukup berhasil. Pembaca akan diajak melompat secara acak dan imajinatif. Lompatan penulis bukan hanya pada hal ruang, tapi juga waktu dan pemikiran. Itulah kemungkinan strategi penulis novel ini.
Dalam novel ini, kita akan menemukan bagaimana kecerdasan sekaligus kekonyolan Gus Dur, pendidikan pesantren yang ditempuh Gus Dur, pergulatan diri Gus Dur dengan ayahnya, hingga mimpi-mimpi besar Gus Dur. Tapi, lebih dari itu, novel yang dimulai dengan Gus Dur ketika masih di istana, membuat kita tersadar bahwa kiai nyentrik itu pernah menjabat sebagai presiden di negeri ini. Tentang batin Gus Dur ketika dirinya dilengserkan dari dalam istana misalnya, penulis dengan indah menulis,
"Sejak aku menginjakkan kaki di Istana, aku tak pernah tahu bagaimana wujud Istana negara ini. Perasaanku tetap sama seperti memasuki rumahrumah kalian, sahabatku. Jika di halaman Istana ini berkibar sang merah putih, begitu juga di halaman rumahku dan rumah kalian. Warna bendera kita memang sama, merah dan putih. Tapi untuk saat ini, hujan begitu lebat mengguyur halaman rumah kita. Sehingga bendera kita samasama tak bisa berkibar sempurna. Aku hanya berharap, hujan tak akan melunturkan merahputih kita. Karena aku sangat yakin, matahari akan segera datang. Selamat berjuang sahabatku, rakyat Indonesia. Perjalanan negeri ini masih sangat panjang. Selamat berjuang sahabatku, rakyat Indonesia."
Setelah kisah istana dipotret, penulis menukik jauh kepada sebuah peristiwa pembaptisan Gus Dur sebagai penakluk oleh ayahnya ketika masih bocah. Dari situ, penulis mulai menyeret peristiwa demi peristiwa dengan cara melompat, menukik, bahkan menyelam dan tenggelam di relung batin pribadi Gus Dur.
Selanjutnya, jika membaca novel Mata Penakluk ini, kita akan menemukan bahwa penulis belum selesai atau tuntas menghadirkan Gus Dur. Diduga kuat, penulis sengaja dan tengah menyiapkan kelanjutan novel ini. Mungkin, ini juga strategi lain dari penulis dalam menghadirkan Gus Dur yang memang selalu menghadirkan kontroversi sekaligus kesejukan bagi semua pihak.
Satu hal yang tak bisa dilewatkan, melalui novel ini, kita bisa melihat bagaimana ketika seorang santri menulis sastra pesantren, dengan menghadirkan sosok Gus Dur, yakni sosok yang sangat menghargai pesantren. Karena lewat Gus Dur pula, pesantren ditempatkan posisinya dalam kancah nasional bahkan internasional. Nah, dalam novel ini kita akan melihat bagaimana kehidupan pesantren, dimana Gus Dur sebagai tokoh utamanya.
Judul : Mata Penakluk
Penulis : Abdullah Wong
Penerbit : Expose
Tanggal terbit : Januari-2015
Jumlah Halaman : 301
Peresensi : Sofyan Tsauri
Al Qaeda: Dari Perang Afganistan sampai ISIS

Buku “Al Qaeda: Kajian Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya”
(2014) merupakan kelanjutan dari buku “Ideologi-Ideologi Pasca
Reformasi” yang diterbitkan tahun 2012. Menurut penulisnya, As’ad Said
Ali, kedua buku itu berangkat dari ambisi pribadnya untuk melakukan
kajian menyeluruh tentang gerakan-gerakan radikal.
Buku Al Qaeda terdiri dari 9 bab yang dimulai dengan cerita mengenai pengalaman pribadi penulis saat bertugas sebagai pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) di Timur Tengah pada 1982 sampai 1990. Selanjutnya penulis menyampaikan uraian panjang lebar mengenai ideologi kaum jihadi dan Al Qaeda secara khusus. Pertemuannya secara tidak sengaja dan perkenalannya dengan pemimpin Al Qaeda Osama bin Laden menjadi titik poin tersendiri. As’ad Ali mencatat bahwa Perang Afghanistan sebagai sebuah permulaan terbentuknya jaringan jihad internasional dan mengenai gagasan pembentukan Al Qaeda. Penulis juga mengungkap pola pengorganisasiannya, serta operasi-operasinya pada tahap awal.
Bab 5 penulis menyampaikan uraian tambahan mengenai Jamaah Islamiyah dan hubungannya dengan Al Qaeda mengingat banyak orang salah kaprah, termasuk opini di sejumlah media, dalam memahami hubungan kedua organisasi ini. Bagaimana jaringan operasi dan rentetan aksi teror bom yang dilakukan Al Qaeda, disajikan dalam Bab 6 dan 7. Uraian dalam dua bab ini meliputi wilayah yang relatif luas, yakni Indonesia dan sejumlah negara di Asia Tenggara. Bab ini menggambarkan cukup menyeluruh mengenai operasi Al Qaeda di Asia Tenggara, dan bagaimana Asia Tenggara dijadikan pangkalan untuk menyerang sejumlah negara di kawasan lain.
Bab 8, merupakan bagian paling penting yang menyoroti generasi pasca Osama dan bagaimana dinamikanya. Osama tewas ditembak anggota pasukan elit Navy SEAL Amerika Serikat di Pakistan, pada Mei 2011. Pada bab ini penulis memulai pembahasan dengan menanyakan apakah setelah kematiannya itu, apakah Al Qaeda ikut hancur dan mati? Bagaimana dengan gerakan-gerakan jihad lainnya? Kenyataannya, kaum jihadi kini menemukan medan jihad baru di Syria, Iraq, dan kawasan Afrika. Bahkan telah lahir ISIS/ISIL (The Islamic State of Iraq and the Levant).
Bab terakhir, Bab 9 berisi uraian reflektif mengenai apa sesungguhnya penyebab Al Qaeda melakukan perlawanan global, dan mengapa akhirnya memilih cara kekerasan. Pada pagian epilog ini, penulis mengajukan rekomendasi, sebuah visi yang perlu dibangun untuk mengelola dan menciptakan perdamaian dunia. As’ad Said Ali yang juga Wakil Ketua Umum PBNU menilai bahwa masalah Al Qaeda sesungguhnya tidak bisa dipandang sekedar sebagai persoalan eksklusif negara semata. Atau lebih sempit lagi, urusan aparat keamanan. Al Qaeda adalah sebuah gerakan politik, dengan ideologi jihad yang kuat, mempunyai jaringan global dan skill militer. Visi politiknya terumuskan dalam sebuah kalimat yang sederhana: “menegakkan Islam dan melindungi kaum muslimin.”
Esensi ideologi Al Qaeda adalah jihad, dan pembentukan khilafah Islamiyah adalah suatu yang mutlak. Dengan ideologi seperti itu, kaum jihadi menyalahkan pemaknaan para ulama yang telah menjadi ijma’ selama berabad-abad, yang mengartikan jihad dalam arti qital (perang) hanyalah salah satu jenis saja dari jihad. Menurut As’ad, jihad yang lebih besar adalah mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Al Qaeda menganggap jihad qital (perang) adalah fardhu ‘ain, sebagai satu-satunya jihad yang berlaku mutlak sejak turunnya surat At Taubah. Sedangkan ayat-ayat lain, yang mengandung perintah jihad lainnya, telah terhapus. Ini berati, khususnya masalah jihad, Al Qaeda menganggap mayoritas umat Islam mengikuti ajaran yang salah.
Kaum jihadi juga beranggapan bahwa pembentukan khilafah islamiyah adalah mutlak. Mereka menilai agama Islam tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna jika tidak melalui Daulah Islamiyah (pemerintah Islam). Dengan demikian terbentuknya Daulah Islamiyah akan menjadi menara api yang akan mengumpulkan kaum muslimin dari semua tempat menjadi satu kesatuan di bawah pemimpin khalifah, meskipun memang tidak ada kesatuan pandangan di kalangan mereka sendiri mengenai apa yang dimaksud khilafah. Namun doktrin kekhalifahan tersebut telah menghasilkan doktrin lanjutan lainnya yang menyeramkan, yakni pengkafiran terhadap umat Islam yang tidak mendukung prinsip kekhalifahan tersebut. Padahal, umumnya para ulama berpendapat bahwa kata-kata khalifah atau khilafah yang terdapat dalam Al-Qur’an berarti “kepemimpinan umat” dalam arti yang luas, tidak berarti model pemerintahan.
Sementara itu fakta menunjukkan bahwa negara-negara muslim masih banyak yang belum berhasil membangun sistem politik yang dapat menggabungkan secara harmonis antara gagasan negara-bangsa dengan ajaran Islam. Barangkali baru sebagian saja yang berhasil. Itupun masih dalam proses, di antaranya adalah Indonesia dan sejumlah kecil negara Arab. Indonesia adalah contoh unik, bagaimana para ulama madzhab (madhzab maslahat) khususnya, NU, Muhammdiyah dan ormas lainnya, bersama tokoh-tokoh nasionalis, Muslim maupun Non Muslim, mampu merumuskan suatu dasar negara yang secara esensial sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Bahkan dapat dikatakan pada basis prinsip-prinsip itulah negara ini ditegakkan atas dasar pesan moral rahmatan lil-‘alamin. Itulah Pancasila, sebuah rumusan cerdas mengatasi problem dikotomis, sekuler versus teokrasi, yang dihadapi dunia Islam saat itu. Meski demikian, negara-negara yang relatif berhasil itupun kini dihadapkan dengan tantangan-tantangan barunya.
Penting dicatat, bahwa gerakan jihadis dan gerakan-gerakan ideologis Islam radikal lainnya, kelahirannya juga dirangsang oleh, dan sebagai respon atas, kekecewaan yang mendalam terhadap negerinya, yang dinilai telah terseret ke dalam situasi amoral, sekuler, libertarianisme dan semakin jauh dari cita-cita masyarakat teokratis. Sementara, kaum pembaharu Islam yang mulai berkibar menjelang runtuhnya khalifah Usmaniyah Turki, dinilai telah gagal membangun sistem politik yang memadai dengan situasi baru pasca perang dunia I. Derita Palestina dan sejumlah kawasan Islam lainnya, juga ditunjuk sebagai bukti bahwa penguasa-penguasa negeri muslim secara politik makin lemah dan kehilangan sikap independen; kemudian dicap sebagai thoghut yang mesti diperanginya.
Dengan demikian, dilihat dari sisi ini, secara moral lahirnya gerakan-gerakan radikal tidak dapat dipersalahkan. Sama halnya kita tidak dapat mempersalahkan lahirnya gerakan-gerakan liberal-sekuler. Keduanya adalah produk sejarah, yakni modernisasi.
Menurut As’ad, tugas penyelenggara negara dan kaum intelektual adalah menumbuhkan sistem politik yang mampu memperbaharui dirinya secara terus-menerus, untuk merespons kritik dan tuntutan-tuntutan baru yang juga terus lahir. Dalam kasus Indonesia, reformasi jangan justru menimbulkan disorientasi pada bangsa ini. Ini bukan sekedar persoalan membangun hubungan antara inisiatif pemerintah dengan partisispasi rakyat, atau bagaimana membangun tingkat kemampuan sistem politik mendorong proses perkembangan di bidang lain, namun semacam proses nation and character building dengan kedalaman dan dimensi yang lebih kekinian.
Data Buku
Judul : Al Qaeda: Kajian Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya
Penulis : DR H As’ad Said Ali
Penerbit : LP3ES Jakarta
Tahun : Cetakan I, September 2014
Tebal : xxvi + 438 hlm
ISBN : 978-602-7984-11-0
Harga : Rp. 80.000,-
Peresensi : A.Khoirul Anam
Buku Al Qaeda terdiri dari 9 bab yang dimulai dengan cerita mengenai pengalaman pribadi penulis saat bertugas sebagai pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) di Timur Tengah pada 1982 sampai 1990. Selanjutnya penulis menyampaikan uraian panjang lebar mengenai ideologi kaum jihadi dan Al Qaeda secara khusus. Pertemuannya secara tidak sengaja dan perkenalannya dengan pemimpin Al Qaeda Osama bin Laden menjadi titik poin tersendiri. As’ad Ali mencatat bahwa Perang Afghanistan sebagai sebuah permulaan terbentuknya jaringan jihad internasional dan mengenai gagasan pembentukan Al Qaeda. Penulis juga mengungkap pola pengorganisasiannya, serta operasi-operasinya pada tahap awal.
Bab 5 penulis menyampaikan uraian tambahan mengenai Jamaah Islamiyah dan hubungannya dengan Al Qaeda mengingat banyak orang salah kaprah, termasuk opini di sejumlah media, dalam memahami hubungan kedua organisasi ini. Bagaimana jaringan operasi dan rentetan aksi teror bom yang dilakukan Al Qaeda, disajikan dalam Bab 6 dan 7. Uraian dalam dua bab ini meliputi wilayah yang relatif luas, yakni Indonesia dan sejumlah negara di Asia Tenggara. Bab ini menggambarkan cukup menyeluruh mengenai operasi Al Qaeda di Asia Tenggara, dan bagaimana Asia Tenggara dijadikan pangkalan untuk menyerang sejumlah negara di kawasan lain.
Bab 8, merupakan bagian paling penting yang menyoroti generasi pasca Osama dan bagaimana dinamikanya. Osama tewas ditembak anggota pasukan elit Navy SEAL Amerika Serikat di Pakistan, pada Mei 2011. Pada bab ini penulis memulai pembahasan dengan menanyakan apakah setelah kematiannya itu, apakah Al Qaeda ikut hancur dan mati? Bagaimana dengan gerakan-gerakan jihad lainnya? Kenyataannya, kaum jihadi kini menemukan medan jihad baru di Syria, Iraq, dan kawasan Afrika. Bahkan telah lahir ISIS/ISIL (The Islamic State of Iraq and the Levant).
Bab terakhir, Bab 9 berisi uraian reflektif mengenai apa sesungguhnya penyebab Al Qaeda melakukan perlawanan global, dan mengapa akhirnya memilih cara kekerasan. Pada pagian epilog ini, penulis mengajukan rekomendasi, sebuah visi yang perlu dibangun untuk mengelola dan menciptakan perdamaian dunia. As’ad Said Ali yang juga Wakil Ketua Umum PBNU menilai bahwa masalah Al Qaeda sesungguhnya tidak bisa dipandang sekedar sebagai persoalan eksklusif negara semata. Atau lebih sempit lagi, urusan aparat keamanan. Al Qaeda adalah sebuah gerakan politik, dengan ideologi jihad yang kuat, mempunyai jaringan global dan skill militer. Visi politiknya terumuskan dalam sebuah kalimat yang sederhana: “menegakkan Islam dan melindungi kaum muslimin.”
Esensi ideologi Al Qaeda adalah jihad, dan pembentukan khilafah Islamiyah adalah suatu yang mutlak. Dengan ideologi seperti itu, kaum jihadi menyalahkan pemaknaan para ulama yang telah menjadi ijma’ selama berabad-abad, yang mengartikan jihad dalam arti qital (perang) hanyalah salah satu jenis saja dari jihad. Menurut As’ad, jihad yang lebih besar adalah mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Al Qaeda menganggap jihad qital (perang) adalah fardhu ‘ain, sebagai satu-satunya jihad yang berlaku mutlak sejak turunnya surat At Taubah. Sedangkan ayat-ayat lain, yang mengandung perintah jihad lainnya, telah terhapus. Ini berati, khususnya masalah jihad, Al Qaeda menganggap mayoritas umat Islam mengikuti ajaran yang salah.
Kaum jihadi juga beranggapan bahwa pembentukan khilafah islamiyah adalah mutlak. Mereka menilai agama Islam tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna jika tidak melalui Daulah Islamiyah (pemerintah Islam). Dengan demikian terbentuknya Daulah Islamiyah akan menjadi menara api yang akan mengumpulkan kaum muslimin dari semua tempat menjadi satu kesatuan di bawah pemimpin khalifah, meskipun memang tidak ada kesatuan pandangan di kalangan mereka sendiri mengenai apa yang dimaksud khilafah. Namun doktrin kekhalifahan tersebut telah menghasilkan doktrin lanjutan lainnya yang menyeramkan, yakni pengkafiran terhadap umat Islam yang tidak mendukung prinsip kekhalifahan tersebut. Padahal, umumnya para ulama berpendapat bahwa kata-kata khalifah atau khilafah yang terdapat dalam Al-Qur’an berarti “kepemimpinan umat” dalam arti yang luas, tidak berarti model pemerintahan.
Sementara itu fakta menunjukkan bahwa negara-negara muslim masih banyak yang belum berhasil membangun sistem politik yang dapat menggabungkan secara harmonis antara gagasan negara-bangsa dengan ajaran Islam. Barangkali baru sebagian saja yang berhasil. Itupun masih dalam proses, di antaranya adalah Indonesia dan sejumlah kecil negara Arab. Indonesia adalah contoh unik, bagaimana para ulama madzhab (madhzab maslahat) khususnya, NU, Muhammdiyah dan ormas lainnya, bersama tokoh-tokoh nasionalis, Muslim maupun Non Muslim, mampu merumuskan suatu dasar negara yang secara esensial sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Bahkan dapat dikatakan pada basis prinsip-prinsip itulah negara ini ditegakkan atas dasar pesan moral rahmatan lil-‘alamin. Itulah Pancasila, sebuah rumusan cerdas mengatasi problem dikotomis, sekuler versus teokrasi, yang dihadapi dunia Islam saat itu. Meski demikian, negara-negara yang relatif berhasil itupun kini dihadapkan dengan tantangan-tantangan barunya.
Penting dicatat, bahwa gerakan jihadis dan gerakan-gerakan ideologis Islam radikal lainnya, kelahirannya juga dirangsang oleh, dan sebagai respon atas, kekecewaan yang mendalam terhadap negerinya, yang dinilai telah terseret ke dalam situasi amoral, sekuler, libertarianisme dan semakin jauh dari cita-cita masyarakat teokratis. Sementara, kaum pembaharu Islam yang mulai berkibar menjelang runtuhnya khalifah Usmaniyah Turki, dinilai telah gagal membangun sistem politik yang memadai dengan situasi baru pasca perang dunia I. Derita Palestina dan sejumlah kawasan Islam lainnya, juga ditunjuk sebagai bukti bahwa penguasa-penguasa negeri muslim secara politik makin lemah dan kehilangan sikap independen; kemudian dicap sebagai thoghut yang mesti diperanginya.
Dengan demikian, dilihat dari sisi ini, secara moral lahirnya gerakan-gerakan radikal tidak dapat dipersalahkan. Sama halnya kita tidak dapat mempersalahkan lahirnya gerakan-gerakan liberal-sekuler. Keduanya adalah produk sejarah, yakni modernisasi.
Menurut As’ad, tugas penyelenggara negara dan kaum intelektual adalah menumbuhkan sistem politik yang mampu memperbaharui dirinya secara terus-menerus, untuk merespons kritik dan tuntutan-tuntutan baru yang juga terus lahir. Dalam kasus Indonesia, reformasi jangan justru menimbulkan disorientasi pada bangsa ini. Ini bukan sekedar persoalan membangun hubungan antara inisiatif pemerintah dengan partisispasi rakyat, atau bagaimana membangun tingkat kemampuan sistem politik mendorong proses perkembangan di bidang lain, namun semacam proses nation and character building dengan kedalaman dan dimensi yang lebih kekinian.
Data Buku
Judul : Al Qaeda: Kajian Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya
Penulis : DR H As’ad Said Ali
Penerbit : LP3ES Jakarta
Tahun : Cetakan I, September 2014
Tebal : xxvi + 438 hlm
ISBN : 978-602-7984-11-0
Harga : Rp. 80.000,-
Peresensi : A.Khoirul Anam
Senin, 23 Februari 2015
Ulang Tahun IPNU-IPPNU Yang Ke 61
SELAMAT BELAJAR BERJUANG & BERTAQWA,,
Ulang Tahun IPNU-IPPNU Yang Ke 61. Dengan Menyebut Nama Allah Swt kita bisa selamat dari apapun Dan Berkat Nabi Muhammad Saw Kita Memerdekaan IPNU-IPPNU.
PAC. KEMLAGI
Selamat Ulang Tahun IPNU-IPPNU SE-DUNIA.
PELAJAR PUTRA YANG BAIK ADALAH IPNU
PELAJAR PUTRI YANG BAIK JUGA ADALAH IPPNU
61 Tahun IPNU Mengabdi untuk Negeri dan Nahdlatul Ulama. Ribuan Kader Muda NU telah lahir dari rahim sang anak ragil NU ini. Selamat HARLAH ke 61 Th IPNU ku (24-02-1954 ll 24-02-2015). Semoga makin jaya dan maju. Amien. "Ilmu ku cari, Amal ku beri untuk Agama Bangsa Negeri..
IPNU Mengabdi Untuk Bangsa Dan negara Indonesia..
Ulang Tahun IPNU-IPPNU Yang Ke 61. Dengan Menyebut Nama Allah Swt kita bisa selamat dari apapun Dan Berkat Nabi Muhammad Saw Kita Memerdekaan IPNU-IPPNU.
PAC. KEMLAGI
Selamat Ulang Tahun IPNU-IPPNU SE-DUNIA.
PELAJAR PUTRA YANG BAIK ADALAH IPNU
PELAJAR PUTRI YANG BAIK JUGA ADALAH IPPNU
61 Tahun IPNU Mengabdi untuk Negeri dan Nahdlatul Ulama. Ribuan Kader Muda NU telah lahir dari rahim sang anak ragil NU ini. Selamat HARLAH ke 61 Th IPNU ku (24-02-1954 ll 24-02-2015). Semoga makin jaya dan maju. Amien. "Ilmu ku cari, Amal ku beri untuk Agama Bangsa Negeri..
IPNU Mengabdi Untuk Bangsa Dan negara Indonesia..
IPNU-IPPNU Gaul, Bukan Galau
Membaca kabar-kabar dari IPNU-IPPNU di pelbagai daerah, dari tingkat ranting, pengurus anak cabang, cabang hingga wilayah, menyembulkan rasa optimistik dalam ber-NU. Begitupun melihat aksi-aksi organisasi dari rekanita-rekan IPPNU-IPNU di tingkat pusat.
Lihatlah! Di sebuah kecamatan di Gresik-Jatim, rekan IPNU punya kesebelasan yang sudah berumur lebih dari sepuluh tahun. Mereka terus menerus kaderisasi di bidang sepak bola. Mereka bertanding di mana-mana, termasuk dengan tim yuniaro dari kesebelasan PSM Malang. Meski IPNU hanya mendapatkan 0 gol, sementara PSM 9 gol, tapi ini berita gembira, karena berarti rekan-rekan IPNU itu “gaul”.
Baru-baru ini, PC IPNU-IPPNU Lampung Tengah menyelenggarakan Latihan Kader Muda. Seribu persen, kabar itu membahagiakan! Karena itu tanda-tanda organisasi bergulir dan juga “gaul”: dilaksanakan di pesantren, dan dihadiri para kiai dan guru-guru.
Ada kabar IPNU-IPPNU di Madura adakan Maulid Nabi dengan PMII, tentu ini membuat kita berseri-seri. Itu tanda-tanda bahwa rekan-rekanita paham dengan siapa semestinya adakan Maulid Nabi. Ini juga berarti mereka cukup “gaul”.
Rekanita IPPNU di Kabupaten Pati-Jawa Tengah, memiliki bimbingan konseling yang keren, sehingga berhasil menarik perhatian DPRD Pekalongan untuk studi banding. Kurang gaul seperti apa IPPNU kan? Meski yang studi banding “hanya” DPRD, bukan rektor Universitas Al-Azhar dari Mesir, misalnya.
Lebih “gaul” lagi IPNU-IPPNU di tingkat pusat. Sebab, belum dilantik pun, mereka sudah mulai bekerja. Salah satunya dengan Badan Narkotika Nasional. Disaksikan pengurus PBNU, mereka menandatangani surat kesepakat untuk kampanye anti Narkoba, dengan BNN.
Banyak sekali kabar-kabar gembira dari para kader IPNU-IPPNU. Itu pun belum semua terkabarkan di situs resmi PBNU, entah karena tidak ada akses internet, entah karena tidak mengerti, entah karena lebih mudah memasang foto di media sosial semacam Facebook.
Sekedar contoh “pergaulan” rekan-renita IPNU-IPPNU sangat perlu diapresiasi oleh siapapun. PBNU mengapresiasi PP IPNU dan IPPNU, PCNU, mengapresiasi PC IPNU dan IPPNU, MWC NU mengapresiasi PAC IPNU dan IPPNU, sebagai sesama badan otonomi, Fatayat, Muslimat, GP Ansor, juga Lazisnu atau Lakpesdam, kudu mengapresiasi IPNU-IPPNU, kiai mengapresiasi santrinya yang aktivis IPNU-IPPNU, meski ngajinya ngantuk, dan suka bolos.
Tentu saja, apresiasinya yang bisa dirasakan oleh adiknya yang manis-manis itu, tidak cukup hanya dengan salaman atau melongok kantornya yang sempit di belakang langgar, di rumah kontrakan, atau di ruang OSIS. Apresiasinya harus lebih dari itu. Tapi kalau tidak bisa lebih, ya, sekedar salaman pun sudah lumayan, yang penting jangan di bawah lumayan.
Sekali lagi, kita patut bahagia dan bangga dengan IPNU-IPPNU bahwa mereka “gaul”. Mereka tidak murung, tidak melamun, tidak mudah bertanya yang tidak penting, tidak keruan pikirannya. Bahasa pendeknya, mereka jauh dari “galau”. Perlu ditegaskan, mereka tidak “galau”, meski sedang musimnya.
Mereka pun sudah memaknai “gaul” dengan semestinya, yakni bersahabat, menjalin kerjasama, meneguhkan silaturahim, memperluas jaringan, dengan orang atau institusi yang memang sudah semestinya mereka kenal dan dekat. Pendek kata dan paling tidak, “gaul” mereka sudah seperti salah satu makna “gaul” yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia! Gaul menurut IPPNU-IPNU, buka model baju terbaru, bukan mengunjungi tempat-tempat maksiat, bukan pula selalu menonton gosip di televisi.
Meskepun demikian, tak sepatutnya rekan-rekanita puas dengan prestasi yang diraih sekarang ini. Di tengah kegembiraan merayakan hari lahir, IPNU yang ke-59 dan IPPNU yang ke-58, bagus sekali untuk merefleksikan diri, agar tahun-tahun berikutnya lebih “gaul” lagi. Dan jangan lupa, “gaul” pun harus bisa kritis, menjaga jarak, dengan orang --entah orang sebaya, senior, dan junior-- atau institusi yang “digauli”.
Misal, ini misal saja. Ketika PP IPNU-IPPNU menjalin kerja bareng dengan BNN atau IPNU di daerah punya proyek dengan dinas-dinas pemerintahan, tetap harus kritis dan menjaga jarak, dan alangkah baiknya ikut membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan masyakarat pada BNN misalnya.
Ada pertanyaan, kenapa BNN menangkap Raffi Ahmad, tapi tidak menangkap pedagang kelas kakap di Jakarta wilayah Kota atau di Tanahabang? Gembongnya mana? Konon pedagang Narkoba di dua tempat tersebut ceto welo-welo, seperti orang jual kain atau minuman mineral.
Nah, IPNU harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Itu sekedar misal kecil. Sudah “gaul” itu IPNU-IPPNU kerja dengan BNN. Tapi lebih “gaul” lagi jika kritis padanya, IPNU-IPPNU tetap berdiri bersama masyarakat, bukan di belakang BNN. Jadi begitu. Selamat hari lahir rekan-rekanita IPNU-IPPNU! (Hamzah Sahal)
Rabu, 18 Februari 2015
Sejarah-Sejarah NU Dan IPNU-IPPNU
LATAR BELAKANG LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA (NU)
Sebagai warga Indonesia khususnya warga NU haruslah mengetahui sejarah Bangsa ini. Bagaimana NU dalam peranannya yang begitu besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mempertahankan keutuhan NKRI dan bagaimana latar belakang lahirnya ormas terbesar di dunia Nahdlatul Ulama (NU) ini lahir. Silakan disimak dan dihayati mudah-mudahan menjadi pijakan bagi kita untuk lebih menghargai jasa-jasa para Pahlawan.
Ada tiga alasan yang melatarbelakangi lahirnya Nahdlatul Ulama 31 Januari 1926:
1. Motif Agama.
Bahwa Nahdlatul Ulama lahir atas semangat menegakkan dan mempertahankan Agama Allah di Nusantara, meneruskan perjuangan Wali Songo. Terlebih Belanda-Portugal tidak hanya menjajah Nusantara, tapi juga menyebarkan agama Kristen-Katolik dengan sangat gencarnya. Mereka membawa para misionaris-misionaris Kristiani ke berbagai wilayah.
2. Motif Nasionalisme.
NU lahir karena niatan kuat untuk menyatukan para ulama dan tokoh-tokoh agama dalam melawan penjajahan. Semangat nasionalisme itu pun terlihat juga dari nama Nahdlatul Ulama itu sendiri yakni Kebangkitan Para Ulama. NU pimpinan Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari sangat nasionalis. Sebelum RI merdeka, para pemuda di berbagai daerah mendirikan organisasi bersifat kedaerahan, seperti Jong Cilebes, Pemuda Betawi, Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya. Tapi, kiai-kiai NU justru mendirikan organisasi pemuda bersifat nasionalis.
Pada 1924, para pemuda pesantren mendirikan Syubbanul Wathon (Pemuda Tanah Air). Organisasi pemuda itu kemudian menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) yang salah satu tokohnya adalah pemuda gagah, Muhammad Yusuf (KH. M. Yusuf Hasyim -Pak Ud).
Selain itu dari rahim NU lahir lasykar-lasykar perjuangan fisik, di kalangan pemuda muncul lasykar-lasykar Hizbullah (Tentara Allah) dengan panglimanya KH. Zainul Arifin seorang pemuda kelahiran Barus Sumatra Utara 1909, dan di kalangan orang tua Sabilillah (Jalan menuju Allah) yang di komandoi KH. Masykur.
Sejarah mencatat, meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, 53 hari kemudian NICA (Netherlands Indies Civil Administration) nyaris mencaplok kedaulatan RI. Pada 25 Oktober 1945, 6.000 tentara Inggris tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Pasukan itu dipimpin Brigadir Jenderal Mallaby, Panglima Brigade ke-49 (India). Penjajah Belanda yang sudah hengkang pun membonceng tentara sekutu itu.
Praktis, Surabaya genting. Untung, sebelum NICA datang, Soekarno sempat mengirim utusan menghadap Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang. Melalui utusannya, Soekarno bertanya kepada Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari: “Apakah hukumnya membela tanah air? Bukan membela Allah, membela Islam, atau membela al-Qur'an. Sekali lagi, membela tanah air?”
Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang sebelumnya sudah punya fatwa jihad kemerdekaan bertindak cepat. Dia memerintahkan KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, dan para Kiyai lain untuk mengumpulkan para Kiyai se-Jawa dan Madura. Para Kiyai dari Jawa dan Madura itu lantas rapat di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, dipimpin Kiai Wahab Hasbullah pada 22 Oktober 1945.
Pada 23 Oktober 1945, Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari atas nama Pengurus Besar NU mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad.
Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad itu: a) Pertama, setiap muslim – tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia. b) Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada. c) Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati.
Jadi, umat Islam wajib hukumnya membela tanah air. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya Qashar Shalat). Di luar radius itu dianggap fardhu kifayah (kewajiban kolektif, bukan fardhu ‘ain, kewajiban individu).
Fatwa jihad yang ditulis dengan huruf pegon itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio. Keruan saja, warga Surabaya dan masyarakat Jawa Timur yang keberagamaannya kuat dan mayoritas NU merasa terbakar semangatnya. Ribuan Kiyai dan santri dari berbagai daerah -seperti ditulis M.C. Ricklefs (1991), mengalir ke Surabaya.
Meletuslah peristiwa 10 November 1945 yang dikenang sebagai hari pahlawan. Para Kiyai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non regular Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hizbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sementara para Kiyai sepuh berada di barisan Mujahidin yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. Perang tak terelakkan sampai akhirnya Brigadir Jenderal Mallaby tewas.
3. Motif Mempertahankan Faham Ahlussunnah wal Jama’ah.
NU lahir untuk membentengi umat Islam khususnya di Indonesia agar tetap teguh pada ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (Para Pengikut Sunnah Nabi, Sahabat dan Ulama Salaf Pengikut Nabi-Sahabat), sehingga tidak tergiur dengan ajaran-ajaran baru (tidak dikenal zaman Rasul-Sahabat-Salafus Shaleh/ajaran ahli bid'ah). Pembawa ajaran-ajaran bid'ah yang sesat (bid'ah madzmumah) menurut ulama Ahlussunnah wal Jama’ah adalah sebagai berikut:
a) Kaum Khawarij dengan imam/pemimpinnya Abdullah bin Abdul Wahab ar-Rasabi yang muncul di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib Ra. yang berpendapat bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, sehingga ciri khas mereka mudah menuduh orang-orang Islam yang tidak sepaham dengan ajarannya sebagai kafir. Bahkan sahabat Ali bin Abi Thalib Ra. pun dicap kafir karena dianggap berdosa besar mau menerima tawaran tahkim/perdamaian yang diajukan oleh pemberontak Muawiyyah Ra.
b) Kaum Syi'ah, lebih-lebih setelah munculnya sekte syi'ah Rafidhah dan Ghulat. Tokoh pendiri Syi'ah adalah Abdullah bin Saba’ seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam dan menyebarkan ajaran Wishoya, bahwa kepemimpinan setelah Nabi adalah lewat wasiat Nabi Saw. Dan yang mendapatkan wasiat adalah Ali bin Abi Thalib Ra. Dan Abu Bakar, Umar dan Utsman termasuk perampok jabatan.
c) Aliran Mu'tazilah yang didirikan oleh seorang tabi'in yang bernama Wasil bin Atho', ciri ajaran ini adalah menafsirkan al-Qur'an dan kebenaran agama ukurannya adalah akal manusia, bahkan mereka berpendapat demi sebuah keadilan Allah harus menciptakan al-manzilah baina al-manzilataini, yakni satu tempat di antara surga dan neraka sebagai tempat bagi orang-orang gila.
d) Faham Qodariyyah yang pendirinya adalah Ma'bad al-Juhaini dan Ghailan ad-Dimasyqi keduanya murid Wasil bin Atho' dan keduanya dijatuhi hukuman mati oleh Gubernur Irak dan Damaskus karena menyebarkan ajaran sesat (bid'ah), ciri ajarannya adalah manusia berkuasa penuh atas dunia ini, karena tugas Allah telah selesai dengan diciptakannya dunia, dan bertugas lagi nanti ketika kiamat datang.
e) Aliran Mujassimah atau kaum Hasyawiyyah ciri aliran ini menjasmanikan Allah (menyerupakan Allah dengan makhluk) yang diawali dengan menafsirkan al-Qur'an secara lafdziy dan tidak menerima ta'wil, sehingga sehingga mengartikan yadullah adalah Tangan Allah. (Lihat Ibnu Hajar al-'Asqolani dalam Fath al-Baari Juz XX hal. 494). Bahkan mereka sanggup mengatakan, bahwa pada suatu ketika, kedua mata Allah kesedihan, lalu para malaikat datang menemuiNya dan Dia (Allah) menangisi (kesedihan) berakibat banjir Nabi Nuh As. sehingga mataNya menjadi merah, dan ‘Arsy meratap hiba seperti suara pelana baru dan bahwa Dia melampaui ‘Arsy dalam keadaan melebihi empat jari di segenap sudut. (Lihat asy-Syahrastani dalam al-Milal wa an-Nihal, hal. 141).
f) Ajaran-ajaran Para Pembaharu Agama Islam (Mujaddid) yang dimulai dari Ibnu Taimiyyah (661-728 H / 1263-1328 M atau abad ke 7 – 8 H / 13 – 14 M yakni 700 tahun setelah Nabi Saw. wafat atau 500 tahun dari masa Imam asy-Syafi'i). Beliau mengaku penganut madzhab Hanbali, tapi anehnya beliau justru menjadi orang pertama yang menentang sistem madzhab. Pemikirannya lalu dilanjutkan muridnya Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah. Aliran ini kemudian dikenal dengan nama aliran salafi-salafiyah yang mengaku memurnikan ajaran kembali ke al-Qur'an dan Hadits, tetapi di sisi lain mereka justru mengingkari banyak hadits-hadits Shahih (inkarus sunnah). Mereka ingin memberantas bid'ah tetapi pemahaman tentang bid'ahnya melenceng dari makna bid'ah yang dikehendaki Rasulullah Saw., yang dipahami oleh para sahabat dan para ulama salaf Ahlussunnah wal Jama'ah.
Mereka juga membangkitkan kembali penafsiran al-Qur'an-Sunnah secara lafdziy. Golongan Salafi ini percaya bahwa al-Qur’an dan Sunnah hanya bisa diartikan secara tekstual (apa adanya teks) atau literal dan tidak ada arti majazi atau kiasan di dalamnya. Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi, yang mana kata-kata Allah Swt. harus diartikan sesuai dengannya. Jika kita tidak dapat membedakan di antara keduanya maka kita akan menjumpai beberapa kontradiksi yang timbul di dalam Al-Qur’an. Maka dari itu sangatlah penting untuk memahami masalah tersebut.
Dengan adanya keyakinan bahwa seluruh kandungan Al-Qur’an dan Sunnah hanya memiliki makna secara tekstual atau literal dan jauh dari makna majazi atau kiasan ini, maka akibatnya mereka memberi sifat secara fisik kepada Allah Swt. (umpama Dia Swt. mempunyai tangan, kaki, mata dan lain-lain seperti makhlukNya). Mereka juga mengatakan terdapat kursi yang sangat besar (‘Arsy) dimana Allah Swt. duduk (sehingga Dia membutuhkan ruangan atau tempat untuk duduk) di atasnya. Terdapat banyak masalah lainnya yang diartikan secara tekstual. Hal ini telah membuat banyak fitnah di antara ummat Islam, dan inilah yang paling pokok dari mereka yang membuat berbeda dari madzhab yang lain. Salafisme ini hanya berjalan atas tiga komposisi yaitu; Syirik, Bid’ah dan Haram. (Penjelasan rincinya akan dibahas kemudian).
Munculnya Muhammad bin Abdul Wahab di abad ke 12 H / 18 M, seorang pembaharu agama (mujaddid) yang lahir di Ayibah lembah Najed (1115-1201 H/1703-1787 M) yang mengaku sebagai penerus ajaran Salafi Ibnu Taimiyyah dan kemudian mendirikan madzhab Wahabi-Wahabiyyah. Ia pun mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah karena meneruskan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal yang diterjemahkan oleh Ibnu Taimiyyah, tapi sebagaimana pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahab dan pengikutnya pun layaknya kaum Khawarij yang mudah mengkafirkan para ulama yang tidak sejalan dengan dia, bahkan sesama madzhab Hanbali pun ia mengkafirkanya.
Di sini, kita akan mengemukakan beberapa pengkafiran Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap beberapa tokoh ulama Ahlussunnah yang tidak sejalan dengan pemikiran sektenya:
• Dalam sebuah surat yang dilayangkan kepada Syeikh Sulaiman bin Sahim –seorang tokoh madzhab Hanbali pada zamannya– Ia (Muhamad Abdul Wahhab) menuliskan: “Aku mengingatkan kepadamu bahwa engkau bersama ayahmu telah dengan jelas melakukan perbuatan kekafiran, syirik dan kemunafikan! Engkau bersama ayahmu siang dan malam sekuat tenagamu telah berbuat permusuhan terhadap agama ini! Engkau adalah seorang penentang yang sesat di atas keilmuan. Dengan sengaja melakukan kekafiran terhadap Islam. Kitab kalian itu menjadi bukti kekafiran kalian!” (Lihat dalam ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 31).
• Dalam sebuah surat yang dilayangkan untuk Ibnu Isa –yang telah melakukan argumentasi terhadap pemikirannya –Muhammad Abdul Wahhab menvonis sesat para pakar fikih (fuqoha) secara keseluruhan. Ia (Muhamad Abdul Wahhab) menyatakan: (Firman Allah); “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. Rasul dan para imam setelahnya telah mengartikannya sebagai ‘Fikih’ dan itu yang telah dinyatakan oleh Allah sebagai perbuatan syirik. Mempelajari hal tadi masuk kategori menuhankan hal-hal lain selain Allah. Aku tidak melihat terdapat perbedaan pendapat para ahli tafsir dalam masalah ini.” (Lihat dalam ad-Durar as-Saniyah jilid 2 hal. 59).
• Berkaitan dengan Imam Fakhrur Razi –pengarang kitab Tafsir al-Kabir, yang bermadzhab Syafi’i Asy’ary– ia (Muhamad Abdul Wahhab) mengatakan: “Sesungguhnya Razi tersebut telah mengarang sebuah kitab yang membenarkan para penyembah bintang.” (Lihat dalam ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 355). Betapa kedangkalan ilmu Muhamad bin Abdul Wahhab terhadap karya Imam Fakhrur Razi. Padahal dalam karya tersebut, Imam Fakhrur Razi menjelaskan tentang beberapa hal yang menjelaskan fungsi gugusan bintang dalam kaitannya dengan fenomena yang berada di bumi, termasuk berkaitan dengan bidang pertanian. Namun Muhammad bin Abdul Wahhab dengan keterbatasan ilmu terhadap ilmu perbintangan telah menvonisnya dengan julukan yang tidak layak, tanpa didasari ilmu yang cukup.
Dari berbagai pernyataan di atas maka jangan kita heran jika Muhammad bin Abdul Wahhab pun mengkafirkan –serta diikuti oleh para pengikutnya (Wahhabi)–para pakar teologi (mutakallimin) Ahlusunnah secara keseluruhan (Lihat dalam ad-Durar as-Saniyah jilid 1 hal. 53), bahkan ia (Muhamad Abdul Wahhab) mengaku-ngaku bahwa kesesatan para pakar teologi tadi merupakan konsensus (ijma’) para ulama dengan mencatut nama para ulama seperti adz-Dzahabi, Imam Daruquthni dan al-Baihaqi.
Tokoh Pembaharu Agama (mujaddid) lain penerus faham salafi Ibnu Taimiyyah adalah muncul pada abad ke 19 di Afghanistan yang bernama Jamaluddin al-Afghani (1838-1898). Ajarannya diteruskan oleh muridnya dari Mesir di abad ke 19 – 20 M yang bernama Muhammad Abduh (1949-1905). Pemikiran Muhammad Abduh menyebar ke berbagai penjuru dunia lewat tulisannya yang dimuat dalam majalah al-Manar. Setelah beliau wafat pada tahun 1905, majalah al-Manar diteruskan oleh muridnya yang bernama Muhammad Rasyid Ridla (1865-1935). Kumpulan tulisan Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridla ini kemudian dibukukan menjadi Tafsir al-Manar.
Dalam perkembangannya aliran Salafi-Wahabi pun terpecah dalam banyak faksi (kelompok) dengan karakteristiknya masing-masing, tergantung pada imam mana yang diikutinya. Tokoh ulama Wahabi yang menjadi rujukan dan panutan saat ini adalah Muhammad Nashiruddin al-Albani seorang dosen Ilmu Hadits di Universitas Islam Madinah yang lahir pada tahun 1915 dan wafat 1 Oktober 1989. Ia dipuja-puja kaum Wahabi-Salafi bahkan dianggap lebih alim dari Imam Bukhori, karena ia men-Takhrij/mengomentari beberapa haditsnya Imam Bukhori (194 – 256 H).
Ajaran Salafi-Wahabi ini masuk ke Indonesia mulanya:
1) Dibawa oleh seorang tokoh pembaharu agama (mujaddid) asal Yogyakarta yang bernama Darwis yang aktif dan rutin mengikuti pemikiran Muhammad Abduh-M. Rasyid Ridla lewat majalah al-Manar dan ajaran Wahabi. Ia kemudian dikenal dengan nama KH. Ahmad Dahlan yang pada 18 Nopember 1912 mendirikan organisasi keagamaan Muhammadiyyah. Walaupun kenyataannya dalam amaliyah sehari-hari selama hidupnya KH. Ahmad Dahlan lebih dekat kepada madzhab Syafi’i. Namun sepeninggal beliau terjadi modernisasi total dari para penerusnya.
2) Syaikh Akhmad Soorkati (1872-1943) seorang tokoh pembaharu (mujaddid) asal Sudan yang kalah bersaing dalam Jami'at al-Khair di negaranya, kemudian Hijrah ke Indonesia dan tahun 1914 di Betawi mendirikan organisasi al-Irsyad.
3) Di Bandung pun muncul Mujaddid yang bernama A. Hasan yang juga dikenal sebagai Hasan Bandung atau Hasan Bangil yang tahun 1927 meneruskan organisasi PERSIS (Persatuan Islam) yang didirikan pada 1923 oleh KH. Zam Zam Palembang.
4) HOS. Cokroaminoto dengan PSII (Persatuan Syarikat Islam Indonesia).
Apa yang Menyebabkan Aliran "Islam Baru” Dapat Menyebar dengan Cepat?
Muhammad bin Abdul Wahab pernah menguji coba ajaranya kepada penduduk Bashrah, tetapi karena mereka adalah penganut fanatik ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, maka usahanya bagaikan menabrak batu karang. Kemudian Muhammad bin Abdul Wahhab menetap di Dir’iyah dan Pangeran Muhammad ibn Saud (dari Dir’iyah Najed) setuju untuk saling dukung-mendukung dengan Wahhabi.
Keluarga/Klan Saud dan pasukan/lasykar Wahhabi berkembang menjadi dominan di semenanjung Arabia, pertama menundukkan Najed, lalu memperluas kekuasaan mereka ke pantai timur dari Kuwait sampai Oman. Orang Saudi juga membawa tanah tinggi 'Asir di bawah kedaulatan mereka dan pasukan Wahhabi mereka mengadakan serangan di Irak dan Suriah, dan menguasai kota suci Shi'ah, Karbala tahun 1801.
Pada tahun 1802, pasukan Saudi-lasykar Wahhabi merebut kota Hijaz (Jeddah, Makkah, Madinah dan sekitarnya) di bawah kekuasaan mereka. Hal ini menyebabkan kemarahan Daulah Utsmaniyah Turki, yang telah menguasai kota suci sejak tahun 1517, dan membuat Daulah Utsmaniyah bergerak. Tugas untuk menghancurkan Wahhabi diberikan oleh Daulah Utsmaniyah Turki kepada raja muda kuat Mesir, Muhammad Ali Pasha.
Muhammad Ali mengirim pasukannya ke Hijaz melalui laut dan merebutnya kembali. Anaknya, Ibrahim Pasha, lalu memimpin pasukan Utsmaniyah ke jantung Najed, merebut kota ke kota. Akhirnya, Ibrahim mencapai ibukota Saudi, Dir’iyah dan menyerangnya untuk beberapa bulan sampai kota itu menyerah pada musim dingin tahun 1818.
Ibrahim lalu membawa banyak anggota klan Al Saud dan Ibn Abdil Wahhab ke Mesir dan Ibukota Utsmaniyah, Istanbul Turki, dan memerintahkan penghancuran Diriyah, yang reruntuhannya kini tidak pernah disentuh kembali. Pemimpin Saudi terakhir, Abdullah bin Saud dieksekusi di Ibukota Utsmaniyah, dan kepalanya dilempar ke air Bosphorus. Sejarah kerajaan Saudi Pertama berakhir, namun, Wahhabi dan klan Al Saud hidup terus dan mendirikan kerajaan Saudi Kedua yang bertahan sampai tahun 1891.
Perselingkuhan agama - ambisi kekuasaan - kepentingan asing dimulai dari wilayah Najed. Ketika lasykar Wahhabi - klan Al Saud yang dipimpin Abdul Aziz Ibnu Sa'ud menyusun kekuatan kembali disertai dukungan persenjataan mesin dari sekutu lamanya, Inggris (antek Amerika). Maka awal tahun 1900-an mereka menyerang kembali kota Hijaz yang saat itu dipimpin Raja Syarif Husain. Ketika itu Hijaz hanya dibantu oleh Daulah Utsmaniyyah Turki yang sudah mulai lemah, dan akhirnya pada tahun 1924 ketika kekuasaanya sudah mengecil Raja Syarif Husain mengasingkan diri ke kepulauan Cyprus dan kekuasaanya diserahkan pada putranya yang bernama raja Syarif Ali.
Raja Syarif Ali membuat kota-kota pertahanan baru, tapi lasykar Wahhabi-klan Ibnu Sa'ud dengan persenjataan canggih berhasil mengepung semua kota, hingga yang tersisa hanya pertahanan di pelabuhan Jeddah. Pada ahir 1925 ketika lasykar Wahhabi-klan Ibnu Sa'ud berhasil menguasai pelabuhan Jeddah, maka Raja Syarif Ali menyerah pada pemberontak.
Dari tahun 1925 inilah Hijaz dengan dua kota suci Makkah dan Madinah dikuasai oleh keluarga Sa'ud dan Wahhabi. Dan ahirnya tepat tanggal 23 September tahun 1932, Hijaz berubah nama menjadi al-Mamlakah al-'Arabiyyah as-Sa'udiyyah, Kerajaan Arab Sau'di, yang dinisbatkan kepada nama leluhurnya yakni Al Sa'ud, dengan Ibukotanya Riyadh. Dan tahun 1943 muncullah ARAMCO (Arabian-American Company) yang mengeksplorasi minyak Arab Saudi. Dari sejarah itulah, mengapa sampai saat ini Arab Saudi selalu tidak bisa bersuara selain seperti suara Amerika, sekalipun harus berbeda dengan negara-negara Islam lainnya.
Jatuhnya Hijaz ke tangan pemberontak pada 1925 tidak hanya berakibat perubahan pemeritahan, tapi juga merombak total praktek-praktek keagamaan di Hijaz dari yang semula Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi faham Wahhabi. Seperti larangan bermadzhab, larangan ziarah ke makam-makam pahlwan Islam, larangan merokok, larangan berhaji dengan cara madzhab. Bahkan makam Rasulullah Saw., sahabat dan tempat-tempat bersejarah pun berencana akan digusur karena dianggap sebagai biang/tempatnya kemusyrikan.
Ketika aliran Salafi-Wahhabi berkembang di Dir’iyyah maupun Najed itu belumlah membuat risau umat Islam dunia. Tetapi ketika mereka menguasai pusat Islam yakni dua kota suci di Hijaz, maka hal ini menimbulkan dampak yang luar biasa, termasuk dalam persebarannya ke seluruh dunia. Melihat perubahan ajaran yang terjadi di Hijaz, maka hampir semua umat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di seluruh dunia memprotes rencana pemerintahan baru di Hijaz yang ingin memberlakukan asas tunggal, yakni madzhab Wahhabi.
Protes luar biasa pun muncul di Indonesia, ketika bulan Januari 1926 ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia berkumpul di Surabaya untuk membahas perubahan ajaran di dua kota suci. Dari pertemuan tersebut lahirlah panita Komite Hijaz yang diberi mandat untuk mengahadap raja Ibnu Sa'ud guna menyampaikan masukan dari ulama-ulama Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia. Akan tetapi karena belum ada organisasi induk yang menaungi delegasi Komite Hijaz, maka pada tanggal 31 Januari 1926, ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah Indonesia kembali berkumpul dan membentuk organisasi Induk yang diberi nama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama) dengan Rois Akbar Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari .
Susunan delegasi Komite Hijaz NU untuk menghadap raja Ibnu Sa'ud adalah sebagai berikut:
Penasehat : KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Masyhuri Lasem, KH. Kholil Lasem Ketua : KH. Hasan Gipo, Wakil Ketua : H. Shaleh Syamil Sekretaris : Muhammad Shadiq Pembantu : KH. Abdul Halim
Materi pokok yang hendak disampaikan langsung ke hadapan raja Ibnu Sa'ud adalah:
1) Meminta kepada raja Ibnu Sa'ud untuk memberlakukan kebebasan bermadzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. 2) Meminta tetap diramaikannya tempat bersejarah karena tempat tersebut telah diwakafkan untuk masjid. 3) Mohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia setiap tahun sebelum jatuhnya musim haji, baik ongkos haji, perjalanan keliling Makkah maupun tentang Syekh. 4) Mohon hendaknya semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis sebagai undang-undang supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum ditulisnya undang-undang tersebut. 5) Jam'iyyah NU mohon jawaban tertulis yang menjelaskan bahwa utusan sudah menghadap raja Ibnu Sa'ud dan sudah pula menyampaikan usul-usul NU tersebut.
sejarah berdirinya IPNU IPPNU
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (disingkat IPNU) adalah badan otonom
Nahldlatul Ulamayang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan NU pada
segmen pelajar dan santri putra. IPNUdidirikan di Semarang pada tanggal
20 Jumadil Akhir 1373 H/ 24 Pebruari 1954, yaitu pada KonbesLP Ma’arif
NU. Pendiri IPNU adalah M. Shufyan Cholil (mahasiswa UGM), H. Musthafa
(Solo),dan Abdul Ghony Farida (Semarang).Ketua Umum Pertama IPNU adalah
M. Tholhah Mansoer yang terpilih dalam Konferensi SegiLima yang
diselenggarakan di Solo pada 30 April-1 Mei 1954 dengan melibatkan
perwakilan dariYogyakarta, Semarang, Solo, Jombang, dan Kediri.Pada
tahun 1988, sebagai implikasi dari tekanan rezim Orde Baru, IPNU
mengubahkepanjangannya menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama. Sejak saat
itu, segmen garapan IPNUmeluas pada komunitas remaja pada umumnya. Pada
Kongres XIV di Surabaya pada tahun 2003,IPNU kembali mengubah
kepanjangannya menjadi “Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama”. Sejak saat itu
babak baru IPNU dimulai. Dengan keputusan itu, IPNU bertekad
mengembalikan basisnya disekolah dan pesantren.Visi IPNU adalah
terbentuknya pelajar bangsa yang bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu,
berakhlak mulia dan berwawasan kebangsaan serta bertanggungjawab atas
tegak dan terlaksananyasyari’at Islam menurut faham ahlussunnah wal
jama’ah yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Untuk
mewujudkan visi tersebut, IPNU melaksanakan misi: (1) Menghimpun
danmembina pelajar Nahdlatul Ulama dalam satu wadah organisasi; (2)
Mempersiapkan kader-kader intelektual sebagai penerus perjuangan bangsa;
(3) Mengusahakan tercapainya tujuan organisasidengan menyusun landasan
program perjuangan sesuai dengan perkembangan masyarakat(maslahah
al-ammah), guna terwujudnya khaira ummah; (4) Mengusahakan jalinan
komunikasi dankerjasama program dengan pihak lain selama tidak merugikan
organisasi.Sebagai salah satu perangkat organisasi NU, IPNU menekankan
aktivitasnya pada programkaderisasi, baik pengkaderan formal, informal,
maupun non-formal. Di sisi lain, sebagai organisasi pelajar, program
IPNU diorientasikan pada pengembangan kapasitas pelajar dan santri,
advokasi, penerbitan, dan pengorganisasian pelajar.Kini IPNU telah
memiliki 33 Pimpinan Wilayah di tingat provinsi dan 374 Pimpinan Cabang
ditingkat kabupaten/kota. Sampai dengan tahun 2008, anggota IPNU telah
mencapai lebih dari 2 juta pelajar santri yang telah tersebar di seluruh
Indonesia.Disini IPPNU tidak akan lepas dari sejarah IPNU, karena
merupakan satu wadah yangsama untuk para pelajar dengan latar belakang
NU. Sehingga lahirnya IPPNU pun juga karena para pelajar putri yang
tergabung dalam IPNU ingin mempunyai wadah sendiri, yang tidak menjadi
satudengan para pelajar putra. Ini bisa dimaklumi, karena pada saat itu
sudah mulai muncul konflik gender yang imbasnya juga sampai pada negara
kita. Maka para pelajar putri ingin mendapatkan“keistimewaan” yang
lebih.
Lahirnya IPPNU
Sejarah kelahiran IPPNU dimulai dari perbincangan ringan oleh beberapa remaja putriyang sedang menuntut ilmu di Sekolah Guru Agama (SGA) Surakarta, tentang keputusan Muktamar NU ke-20 di Surakarta. Maka perlu adanya organisasi pelajar di kalangan Nahdliyat. Hasil obrolanini kemudian dibawa ke kalangan NU, terutama Muslimat NU, Fatayat NU, GP. Ansor, IPNU danBanom NU lainnya untuk membentuk tim resolusi IPNU putri pada kongres I IPNU yang akandiadakan di Malang. Selanjutnya disepakati bahwa peserta putri yang akan hadir di Malangdinamakan IPNU putri.Dalam suasana kongres, yang dilaksanakan pada tanggal 28 Februari – 5 Maret 1955,ternyata keberadaan IPNU putri masih diperdebatkan secara alot. Rencana semula yang menyatakan bahwa keberadaan IPNU putri secara administratif menjadi departemen dalam organisasi IPNU. Namun, hasil pembicaraan dengan pengurus teras PP IPNU telah membentuk semacam kesaneksklusifitas IPNU hanya untuk pelajar putra. Melihat hasil tersebut, pada hari kedua kongres, peserta putri yang terdiri dari lima utusan daerah (Yogyakarta, Surakarta, Malang, Lumajang danKediri) terus melakukan konsultasi dengan jajaran teras Badan Otonom NU yang menangani pembinaan organisasi pelajar yakni PB Ma’arif (KH. Syukri Ghozali) dan PP Muslimat (MahmudahMawardi). Dari pembicaraan tersebut menghasilkan beberapa keputusan yakni:
•Pembentukan organisasi IPNU putri secara organisatoris dan secara administratif terpisah dari IPNU
•Tanggal 2 Maret 1955 M/ 8 Rajab 1374 H dideklarasikan sebagai hari kelahiranIPNU putri.
•Untuk menjalankan roda organisasi dan upaya pembentukan-pembentukan cabangselanjutnya ditetapkan sebagai ketua yaitu
Umroh Mahfudhoh dan sekretaris Syamsiyah Mutholib
•PP IPNU putri berkedudukan di Surakarta, Jawa Tengah.
•Memberitahukan dan memohon pengesahan resolusi pendirian IPNU putri kepadaPB Ma’arif NU.
Sejarah kelahiran IPPNU dimulai dari perbincangan ringan oleh beberapa remaja putriyang sedang menuntut ilmu di Sekolah Guru Agama (SGA) Surakarta, tentang keputusan Muktamar NU ke-20 di Surakarta. Maka perlu adanya organisasi pelajar di kalangan Nahdliyat. Hasil obrolanini kemudian dibawa ke kalangan NU, terutama Muslimat NU, Fatayat NU, GP. Ansor, IPNU danBanom NU lainnya untuk membentuk tim resolusi IPNU putri pada kongres I IPNU yang akandiadakan di Malang. Selanjutnya disepakati bahwa peserta putri yang akan hadir di Malangdinamakan IPNU putri.Dalam suasana kongres, yang dilaksanakan pada tanggal 28 Februari – 5 Maret 1955,ternyata keberadaan IPNU putri masih diperdebatkan secara alot. Rencana semula yang menyatakan bahwa keberadaan IPNU putri secara administratif menjadi departemen dalam organisasi IPNU. Namun, hasil pembicaraan dengan pengurus teras PP IPNU telah membentuk semacam kesaneksklusifitas IPNU hanya untuk pelajar putra. Melihat hasil tersebut, pada hari kedua kongres, peserta putri yang terdiri dari lima utusan daerah (Yogyakarta, Surakarta, Malang, Lumajang danKediri) terus melakukan konsultasi dengan jajaran teras Badan Otonom NU yang menangani pembinaan organisasi pelajar yakni PB Ma’arif (KH. Syukri Ghozali) dan PP Muslimat (MahmudahMawardi). Dari pembicaraan tersebut menghasilkan beberapa keputusan yakni:
•Pembentukan organisasi IPNU putri secara organisatoris dan secara administratif terpisah dari IPNU
•Tanggal 2 Maret 1955 M/ 8 Rajab 1374 H dideklarasikan sebagai hari kelahiranIPNU putri.
•Untuk menjalankan roda organisasi dan upaya pembentukan-pembentukan cabangselanjutnya ditetapkan sebagai ketua yaitu
Umroh Mahfudhoh dan sekretaris Syamsiyah Mutholib
•PP IPNU putri berkedudukan di Surakarta, Jawa Tengah.
•Memberitahukan dan memohon pengesahan resolusi pendirian IPNU putri kepadaPB Ma’arif NU.
Selanjutnya PB Ma’arif NU menyetujui dan mengesahkan IPNU putri menjadi
Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU).Dalam perjalanan
selanjutnya, IPPNU telah mengalami pasang surut organisasi dan berbagai
peristiwa nasional yang turut mewarnai perjalanan organisasi ini.
Khususnya di tahun 1985, ketika pemerintah mulai memberllakukan UU No.
08 tahun 1985 tentang keormasan khususorganisasi pelajar adalah OSIS,
sedangkan organisasi lain seperti IPNU-IPPNU, IRM dan lainnyatidak
diijinkan untuk memasuki lingkungan sekolah. Oleh karena itu, pada
Kongres IPPNU IX diJombang tahun 1987, secara singkat telah
mempersiapkan perubahan asas organisasi dan IPPNUyang kepanjangannya
“Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama” berubah menjadi “Ikatan
Putri-Putri Nahdlatul Ulama”.Selanjutnya, angin segar reformasi telah
pula mempengaruhi wacana yang ada dalamIPPNU. Perjalanan organisasi
ketika menjadi “putri-putri” dirasa membelenggu langkah IPPNUyang
seharusnya menjadi organisasi pelajar di kalangan NU. Keinginan untuk
kembali ke basissemula yakni pelajar demikian kuat, sehingga pada
kongres XII IPPNU di Makasar tanggal 22-25Maret tahun 2000
mendeklarasikan bahwa IPPNU akan dikembalikan ke basis pelajar dan
penguatan wacana gender. Namun, pengembalian ke basis pelajar saja
dirasa masih kurang. Sehingga pada Kongreske XIII IPPNU di Surabaya
tanggal 18-23 Juni 2003, IPPNU tidak hanya mendeklarasikan kembalike
basis pelajar tetapi juga kembali ke nama semula yakni “Ikatan Pelajar
Putri NahdlatulUlama”.
Dengan perubahan akronim ini, IPPNU harus menunjukkan komitmennya untuk
memberikan kontribusi pembangunan SDM generasi muda utamanya di kalangan
pelajar putridengan jenjang usia 12-30 tahun dan tidak terlibat pada
kepentingan politik praktis yang bisamembelenggu gerak organisasi. Namun
perlu juga dipahami bahwa akronim “pelajar” lebihdiartikan pada upaya
pengayaan proses belajar yang menjadi spirit bagi IPPNU dalam
berinteraksidan bersosialisasi dengan seluruh komponen masyarakat
Indonesia dengan mengedepankanidealisme dan intelektualisme
Langganan:
Postingan (Atom)